Respons Demokrat Presiden Jokowi Kumpulkan 6 Ketua Umum Parpol: Bolehkah Istana Berpolitik Partisan?
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik, bicara soal Joko Widodo yang mengumpulkan enam ketua partai politik di Istana
Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik, bicara soal Presiden Joko Widodo yang mengumpulkan enam ketua partai politik di Istana Negara dan kemudian mengaitkannya dengan kegiatan politik partisan.
Mulanya, dia menjelaskan bahwa ketika Presiden Jokowi dikritik publik karena kegiatan tersebut, para pembela Jokowi membandingkannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggunakan Istana Negara untuk tempat pernikahan putra-putra SBY.
Menurutnya, argumentasi semacam itu gagal mendorong perdebatan publik menjadi produktif.
"Sebenarnya, ada sejumlah perkara berbeda yang dicampuraduk seolah memiliki makna yang sama saja, dalam perdebatan tersebut. Itulah aktivitas pribadi Presiden, personalisasi jabatan, kegiatan pemerintahan atau layanan publik dan kegiatan politik partisan," kata dia dalam keterangan yang diterima, Rabu (10/5/2023).
Rachland lalu menjelaskan bahwa pekerjaan Presiden adalah 24 jam sehari, dan karena itulah, negara memberi rumah di dalam Istana Negara.
Dia menilai bahwa aktivitas pribadi Presiden di istana negara pada dasarnya tidak dilarang, termasuk ke dalamnya menyelenggarakan akad nikah atau resepsi pernikahan keluarga Presiden, baik untuk dirinya sendiri maupun anggota keluarganya.
"Sebagai contoh, dalam sejarah White House, sudah pernah diselenggarakan 19 kali akad nikah dan 4 kali resepsi pernikahan keluarga Presiden. Terbaru, pada November 2022, Presiden Joe Biden menyelenggarakan pernikahan cucunya di Istana Kepresidenan Amerika Serikat itu. Dengan kata lain, publik Amerika tidak memandang kejadian itu sebagai pelanggaran etika politik," kata Rachland.
"Dari contoh itu, kita bisa belajar bahwa apa yang sekurangnya terasa problematik dari sisi etika politik, bukanlah kegiatan pribadi Presiden di dalam istana negara," tambahnya.
Kemudian, Rachland mencontohkan seorang Presiden yang menggunakan rumah pribadinya sebagai tempat untuk berpolitik atau bahkan menyelenggarakan kegiatan negara dan pemerintahan.
"Tentang itu, kita bisa memetik pelajaran dari masa Orde Baru. Saat itu, Presiden Soeharto seringkali membicarakan, mengambil dan mengumumkan kebijakan pemerintah di rumah pribadinya di Jalan Cendana," katanya.
Dia menyebut bahwa saat itu kegiatan Soeharto di Jalan Cendana sangat dikiritik oleh para aktivis pro-demokrasi sebagai personalisasi jabatan.
"Presiden Soeharto membuat rumah pribadinya seolah istana negara, cerminan kegagalannya memisahkan kegiatan pribadi dari kegiatan jabatan sebagai Presiden atau kepala negara. Tapi, perlu diingat, kritik ini tidak menyebut ke dalamnya kegiatan Soeharto di Jalan Cendana selaku Ketua Dewan Pembina Golkar, yang jauh lebih berkuasa dari Ketua Umum Golkar," katanya
Namun, dia menilai hal tersebut tidak terasa problematik jika Presiden melakukan kegiatan politik partisan di kediaman pribadinya sendiri, atau tempat lain yang bukan bagian dari fasilitas negara.
Baca juga: Ali Mochtar Ngabalin Minta Benny K Harman Belajar Diksi Lagi: Nggak Usah Pakai Ancam-ancam Perang