RUU Kesehatan Dikritik, Praktisi Hukum Minta Menkes Pertimbangkan Kualitas Dokter
Hendra menilai aturan pada RUU Kesehatan yang membuka organisasi payung profesi kedokteran selain IDI sangat berbahaya.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa hari terakhir tenaga kesehatan dari lima organisasi profesi kesehatan yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia dan Ikatan Apoteker Indonesia menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
Lima organisasi tersebut menilai pembahasan RUU Kesehatan tidak menampung masukan dari organisasi kesehatan, serta mendegradasi profesi kesehatan dalam sistem kesehatan nasional.
Menanggapi hal ini, praktisi hukum, Hendra Setiawan Boen, mengakui tujuan pemerintah membuka akses masyarakat ke dokter dan dokter spesialis dengan menghilangkan hambatan-hambatan.
Namun, Hendra menilai aturan pada RUU Kesehatan yang membuka organisasi payung profesi kedokteran selain IDI sangat berbahaya.
"Hal ini sangat berbahaya sebab tidak ada lagi organisasi yang menjamin kompetensi dokter di Indonesia dan menegakan etika kedokteran," kata Hendra.
"Sekarang kalau dokter yang dihukum satu organisasi profesi kedokteran karena melanggar etika, maka dengan mudah dia bisa pindah organisasi atau bahkan mendirikan organisasi sendiri," tambah Hendra.
Hendra mengatakan hal tersebut dapat mengakibatkan semua calon pasien akan dirugikan, karena tidak ada jaminan kualitas dokter.
Baca juga: Fraksi PKS Minta Pembahasan RUU Kesehatan Dilakukan secara Transparan dan Tidak Terburu-buru
Dirinya mengungkapkan hal ini sudah terjadi kepada profesi advokat, dan berpotensi terjadi pada profesi dokter.
"Walaupun UU Advokat mengatur hanya ada satu organisasi advokat tapi sekarang organisasi advokat sudah menjamur sehingga melahirkan banyak masalah di lapangan," jelas Hendra.
Apabila ini terjadi pada profesi kedokteran, Hendra menilai akibat negatif akan jauh lebih besar.
"Orang salah menunjuk advokat mungkin akan kehilangan materi uang atau masuk penjara. Tapi orang salah memilih dokter, kemungkinan terburuk atau mengalami gangguan kesehatan akut atau bahkan meninggal dunia," kata Hendra.
Hendra mengatakan tujuan pemerintah memperbaiki kualitas dokter tidak akan tercapai, bahkan berpotensi menurunkan kualitas dokter-dokter Indonesia.
"Kalau kualitas dokter Indonesia turun, tentu semakin banyak orang Indonesia lebih memilih berobat di luar negeri daripada salah diagnosa oleh dokter spesialis hasil karbitan di Indonesia," pungkas Hendra.