Kubu Derek Loupatty Optimis MK Tolak Gugatan Sistem Pemilu Terbuka, Ini Penjelasannya
Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan menolak gugatan sistem pemilu terbuka yang diajukan sejumlah pihak.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan menolak gugatan sistem pemilu terbuka yang diajukan sejumlah pihak.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan Uji Materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem Proporsional Terbuka pada Senin (15/5/2023).
Adapun agenda sidang hari ini, Mahkamah mendengarkan keterangan ahli dari pihak terkait Derek Loupatty, yakni Dr Khairul Fahmi, Titi Anggraini. Dr Zainal Arifin Mochtar hadir melalui daring.
Kuasa hukum Derek Loupatty, Heru Widodo optimis MK menolak gugatan sistem proporsional terbuka.
“Dari keterangan ahli yang disampaikan kita tentunya yakin bahwa permohonan yang disampaikan dalam perkara 114/PUU-XX/2022 itu tidak dapat diterima,” kata Heru Widodo usai persidangan di MK, Senin (15/5/2023).
Ia menjelaskan sejumlah alasan mengapa pihaknya yakin bahwa MK akan menolak gugatan tersebut.
Di antaranya, lanjut Heru, permohonan uji materiil sistem pemilu ini merupakan ranah kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
Hal itu sama seperti aturan terkait ambang batas presiden atau presidential threshold.
Dalam ketentuan di open legal policy, Mahkamah dinilai tidak memiliki kepentingan untuk menentukan putusan.
Dia menjelaskan bahwa aturan mengenai open legal policy dibuat berdasarkan kesepakatan ketika proses pembahasan di DPR atau legislative review.
“Sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian presidential treshold, seluruhnya disampaikan bahwa itu adalah kebijakan terbuka pembentuk Undang-Undang. Dan kami meyakini ini juga hal yang sama,” ucap Heru.
Lebih jauh Heru mengatakan bahwa berlakunya proporsional terbuka itu bukan atas putusan MK nomor 22 dan 24 tahun 2008.
Sebab Pemilihan Legislatif dengan sistem terbuka sudah berjalan sejak tahun 2004 silam.
“Kemudian Pemilu 2009 dengan UU 10/2008 di Pasal 5 juga disebut dengan proporsional terbuka,” ucapnya.
“Sehingga ini meluruskan opini yang belakangan beredar bahwa MK memutus mengubah dari tertutup ke terbuka atas dasar putusannya di tahun 2008,” sambung Heru.
Baca juga: Anwar Usman Soal Uji Materi Proporsional Terbuka: Cepat-Lambatnya Sidang Tidak Bergantung pada MK
Dia melanjutkan bahwa sistem proporsional terbuka merupakan l kebutuhan dari prinsip kedaulatan rakyat.
Di mana sistem pemilu dipilih karena adanya kebutuhan dari rakyat untuk menjadi representasi di dalam perwakilannya di legislatif.
Di sisi lain, lanjut Heru, untuk mengubah sistem pemilu terbuka menjadi tertutup memerlkukan pembahasan yang mendalam memerlukan evaluasi.
“Di mana hal-hal apa yang negatif dari sisi terbuka kemudian dibahas oleh legislatif bukan dalam melalui Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
Terlebih lagi untuk saat ini, tahapan pemilu sudah berjalan. Teranyar, KPU membuka pendaftaran bagi bakal calon anggota legislatif DPR RI dan DPRD hingga DPD RI untuk Pemilihan Legislatif mendatang.
Pendaftaran tersebut berlangsung selama dua pekan sejak 1 Mei 2023 hingga 14 Mei 2023 kemarin.
“Sehingga sangat tidak memungkinkan apabila dilakukan perubahan sistem ketika pelaksanaan pemilu dengan proporsional terbuka sudah berjalan bahkan sampai hari ini sudah dilakukan pendaftaran peserta Pemilu Legislatif, sudah ditutup pendaftaran itu,” tuturnya.
Perjalanan Sidang Uji Materiil Sistem Proporsional Terbuka
Adapun materi perkara nomor 114/PUU-XX/2022 berkaitan dengan pengujian Pasal 168 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai sistem proporsional daftar terbuka masih bergulir di Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya diberitakan, bergulirnya isu sistem proporsional tertutup untuk diterapkan pada Pemilu 2024 bermula dari langkah enam orang yang mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK.
Para pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam sidang yang digelar pada Kamis (26/1/2023) lalu, Pemerintah menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka merupakan mekanisme terbaik dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia.
Hal ini disampaikan Dirjen Politik dan PUM Kemendagri Bahtiar yang mewakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menkumham Yasonna Laoly sekaligus Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Pleno Pengujian Materil Undang-Undang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi.
Sementara Anggota DPR RI Fraksi PDIP Arteria Dahlan menyatakan pihaknya mendukung penerapan sistem proporsional tertutup.
“Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDIP lebih memilih sistem proporsional tertutup. Sikap ini berbeda dengan sikap 8 fraksi partai di DPR RI,” kata Arteria Dahlan di hadapan Hakim MK.
Sementara Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Golkar, Supriansa membacakan pandangan 8 Fraksi partai politik di DPR RI, yang menolak penerapan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu.
“Kami menolak sistem proporsional tertutup. Sistem Proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi kita,” kata Supriansa di hadapan Hakim Konstitusi.
Supriansa menjelaskan sejumlah argumentasi lain, di antaranya bahwa sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak era reformasi ini sudah tepat dilakukan.
Sehingga ia berharap Mahkamah Konstitusi tetap mempertahankan sistem ini di Pemilu 2024 mendatang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.