Pakar Psikologi Forensik: Vonis Teddy Minahasa Timpang antara 'Sah dan Meyakinkan'
Reza mengatakan bahwa dalam pembacaan vonis kepada terdakwa pastilah hakim mengawali putusannya dengan sebuah kata sah dan meyakinkan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai putusan vonis penjara seumur hidup yang dibuat hakim untuk eks Kapolda Sumatra Barat Teddy Minahasa ada ketimpangan.
Menurutnya, putusan hakim haruslah adil berdasar pada pembuktian yang sah di persidangan.
Reza mengatakan bahwa dalam pembacaan vonis kepada terdakwa pastilah hakim mengawali putusannya dengan sebuah kata sah dan meyakinkan.
Menurut Reza, dalam kasus Teddy Minahasa nampaknya hakim tidak mendasarkan putusannya pada pembuktian yang sah dan justru lebih mengedepankan subjektivitasnya.
"Kalau kita ingat bahwa irah irah putusan berbunyi 'sah dan meyakinkan'. Sah mengacu pada pembuktian, sedangkan meyakinkan berlandaskan pada persepsi bahkan intuisi hakim. Dari urutannya sudah jelas, bahwa objektivitas pembuktian (sah) harus didahulukan ketimbang subjektivitas perasaan (meyakinkan). Nah, putusan majelis menunjukkan ketimpangan itu," kata Reza dalam keterangannya, Senin (15/5/2023).
Sebagai seorang hakim yang sangat menentukan nasib hukuman seorang terdakwa, seharusnya hakim lebih mengedepankan objektivitas pembuktian.
Menurut Reza, hakim harus menyandarkan vonis yang dijatuhkan berdasar pembuktian yang sah di persidangan bukan bersandar pada subjektivitas perasaannya.
"Subjektivitas dikedepankan, sementara objektivitasnya sangat rapuh. Ini, sekali lagi, bertentangan dengan asas pembuktian sebagai kemutlakan dalam proses sidang," tandasnya.
Subjektivitas hakim dalam vonis Teddy Minahasa sangat tampak terlihat karena terlalu mengandalkan keterangan saksi.
Baca juga: Resmi Ajukan Banding Kasus Teddy Minahasa, Jaksa Bakal Perjuangkan Tuntutan Hukuman Mati
Padahal, menurut Reza, hakim harusnya membandingkan keterangan saksi tersebut dengan alat bukti lain yang sah di persidangan.
"Ketika hakim terlalu mengandalkan keterangan saksi, maka ini bertolak belakang dengan riset psikologi forensik bahwa keterangan rentan mengalami distorsi dan fragmentasi. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, hakim harus bandingkan keterangan saksi dengan saksi lain bahkan antara saksi dengan alat bukti lainnya," tuturnya.
Inilah yang menurut Reza menjadi celah kesalahan hakim dalam vonis yang dijatuhkan kepada Teddy Minahasa.
"Perbandingan antara saksi dan perbandingan dengan alat bukti lainnya itu yang tidak tampak pada putusan majelis hakim," imbuh Reza.