Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Try Sutrisno Pertanyakan Hak Anak Cucu PKI yang Harus Dipenuhi dalam Inpres Nomor 2 Tahun 2023

Atas rekomendasi itu, Try Sutrisno mempertanyakan apa hak yang harus dipenuhi oleh negara kepada para orang terdekat dari PKI.

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Try Sutrisno Pertanyakan Hak Anak Cucu PKI yang Harus Dipenuhi dalam Inpres Nomor 2 Tahun 2023
Rizki Sandi Saputra
Wakil Presiden ke-6 Republik Indonesia Try Sutrisno dalam acara Silaturahmi Kebangsaan membahas tentang Inpres Nomor 2 tahun 2023 yang digelar oleh DPD RI secara daring, Selasa (23/5/2023). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Presiden ke-6 Republik Indonesia Try Sutrisno menyoroti soal isi dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.

Dimana dalam isi beleid tersebut, mengeluarkan rekomendasi bahwa terdapat 16 menteri serta Kapolri, Jaksa Agung hingga Panglima TNI untuk melaksanakan rekomendasi tersebut.

Dalam rekomendasi nya, Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP-HAM) yang berat di masa lalu meminta kepada negara untuk melakukan pemenuhan hak kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

Adapun korban yang dimaksud berdasarkan temuan Komnas HAM yakni mereka para keluarga atau pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).

Atas rekomendasi itu, Try Sutrisno mempertanyakan apa hak yang harus dipenuhi oleh negara kepada para orang terdekat dari PKI.

"Negara harus mengakui bersalah dan harus memulihkan hak-hak mereka, hak apa yang akan dipulihkan? Apakah hak untuk memperjuangkan ideologi komunis lagi? Atau hak untuk mendirikan kembali Partai Komunis Indonesia?" kata Try Sutrisno dalam acara Silaturahmi Kebangsaan yang digelar oleh DPD RI secara daring, Selasa (23/5/2023).

Try menilai, sejauh ini para anak cucu dan kerabat PKI sudah mendapatkan hak yang sama di mata hukum.

BERITA TERKAIT

Bahkan lebih jauh kata dia, mereka dominan sudah ada yang menjadi pejabat di pemerintahan serta duduk di kursi DPR RI.

"Bukankah, hak anak cucu mereka sudah sama di mata hukum dan pemerintah? Bahkan sudah ada anak cucu PKI yang menjadi pejabat dan anggota DPR," ucap Try.

Oleh karenanya, Mantan Panglima ABRI itu mempertanyakan hak apalagi yang harus dituntaskan negara kepada para cucu dan anak PKI.

Sebab, dirinya berpandangan bahwasanya PKI lah yang sejatinya menjadi pelaku atas insiden kudeta bersenjata dan berdarah yang akhirnya menewaskan beberapa sipil hingga jenderal pada tahun 1965 silam.

"Lalu apa lagi yang dipulihkan?" kata Try Sutrisno.

Atas hal itu, terbitnya Inpres Nomor 2 tahun 2023 tersebut dinilai Try Sutrisno menjadi polemik saat ini dan harus dikaji lebih mendalam.

Sebab, salah satu isi dari Inpres tersebut memerintahkan kepada negara untuk melakukan pemenuhan korban pelanggaran HAM yang dinyatakan Komnas HAM adalah para pengikut PKI.

"Jadi, kita musti mencermati konsekuensi kenegaraan, apa saja yang ditimbulkan dari adanya Inpres nomor 2 tahun 2023 tersebut, karena inpres ini memerintahkan 16 menteri dan juga jaksa agung, Kapolri dan Panglima TNI untuk menjalankan," tutur dia.

Dirinya merasa tidak sepakat dengan penyematan label korban kepada para orang terdekat PKI tersebut.

Sebab menurut Try, dalam insiden kudeta bersenjata dan berdarah itu merupakan aksi-aksi bersenjata yang dilakukan oleh para pengikut PKI.

Baca juga: 39 Warga Eksil Akibat Peristiwa G30S PKI 1965 Akan Dinyatakan Bukan Pengkhianat Negara

"Teruskan apa yang menjadi polemik dari terbitnya instruksi presiden nomor 2 tahun 2023 ini soal adanya predikat korban yang disematkan kepada pelaku dan pengikut partai komunis Indonesia (PKI) sedangkan sejarah mencatat PKI telah melakukan upaya kudeta bersenjata dan berdarah, gugur jenderal dan 3 perwira lainnya yang kemudian oleh negara ditetapkan sebagai pahlawan revolusi," tukas dia.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPD RI A.A LaNyalla Mahmud Matalitti juga menilai penting pembahasan lebih jauh terkait dengan rekomendasi TPP-HAM yang berat di masa lalu.

Dimana rekomendasi itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat.

Berdasarkan keputusan Komnas HAM yang terdapat dalam rekomendasi TPP-HAM itu dinyatakan, kalau korban HAM Berat masa lalu merupakan mereka yang turut terlibat dalam konflik horizontal sipil akibat aksi kelompok komunis melalui Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Seperti yang dinyatakan Komnas HAM bahwa posisi korban adalah mereka yang terlibat atau pengikut PKI atau dalam kata lain pegiat PKI, keluarga pegiat PKI adalah korban pelanggaran HAM berat," kata dia.

Dimana dalam Inpres tersebut kata LaNyalla, memerintahkan kepada 19 institusi termasuk di antaranya 16 Kementerian untuk melaksanakan rekomendasi TPP-HAM.

Dalam posisi ini, LaNyalla mempertanyakan perihal rekomendasi tersebut. 

Dimana, pada poin 1 huruf A rekomendasi itu memerintahkan agar seluruh hak korban dapat dipulihkan.

"Inpres tersebut memerintahkan kepada 19 Institusi negara yang terdiri dari 16 kementerian, ditambah Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri untuk melaksanakan rekomendasi TPP-HAM," kata LaNyalla.

"Dimana di dalam tum pertama huruf A tertulis memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara adil dan bijaksana," sambungnya.

Sementara yang menjadi pertanyaan LaNyalla sehingga dirinya menilai kalau rekomendasi itu harus didalami karena konteks pemulihan hak korban.

Dimana, dalam pernyataan Komnas HAM, seluruh korban merupakan mereka yang erat kaitannya dengan PKI.

Sementara, salah satu hal yang diperjuangkan oleh PKI di masa lalu yakni menanamkan ideologi komunikasi di Indonesia.

Atas hal itu, LaNyalla menilai, rekomendasi dari TPP-HAM yang tertuang dalam Inpres tersebut penting untuk digali.

"Ini penting untuk kita gali tentang seberapa luas makna memulihkan hak korban, karena salah satu yang diperjuangkan oleh PKI saat itu adalah menawarkan ideologi komunis di Indonesia, apakah itu juga termasuk dalam hak yang harus dipulihkan?" tutur dia.

Hal itu penting, sebab saat sejak bangsa Indonesia merdeka, seluruh masyarakat dan pendiri bangsa kata dia, sudah sepakat kalau Pancasila menjadi satu-satunya landasan negara.

"Sedangkan kita sebagai bangsa telah bersepakat bahwa Pancasila adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara ini," tukas LaNyalla.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas