Pemerintah Pelajari Amar Putusan MK Kabulkan Masa Jabatan Pimpinan KPK Jadi 5 Tahun
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno merespons soal dikabulkannya gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno merespons soal dikabulkannya gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Adapun dalam putusan tersebut, masa tugas KPK diperpanjang menjadi 5 tahun yang awalnya 4 tahun.
Pratikno mengatakan pemerintah menghormati dan akan mempelajari amar putusan MK tersebut.
"Jadi intinya pemerintah itu taat pada undang-undang yaa. Undang-undang mengatakan apa ya kita taat begitu," kata Pratikno di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (25/5/2023).
Pratikno mengatakan sampai kemarin, pemerintah masih merujuk UU KPK yang di dalamnya diatur bahwa pimpinan KPK bertugas selama 4 tahun.
"Pertengahan Mei itu sudah dibentuk Pansel KPK. Nah, makannya kita cepat-cepat menyiapkan, bahkan sudah agak mundur dibandingkan dengan 4 tahun yang lalu ya, kita sudah akhir Mei sekarang untuk segera membentuk Pansel. Tapi itu tentu saja karena undang-undang yang berlaku adalah periodenya 4 tahun," kata Pratikno.
Namun, dikarenakan putusan MK ini baru keluar, Pratikno masih harus mempelajari bagaimana ke depannya, terkhusus soal pembentukan pansel KPK.
"Tapi kalau MK memutuskan lain, tentu saja ya kita mengikuti. Tapi sampai sekarang kan, saya terus terang belum membaca amar putusan MK, jadi kita menunggu saja sampe kami pelajari amar putusan MK," tandas dia.
Periode kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menjadi lima tahun. Putusan ini dibacakan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang dengan nomor perkara 112/PUU-XX/2022 pada Kamis (25/5/2023).
Diubahnya periode kepemimpinan KPK dari empat menjadi lima tahun guna menguatkan kedudukan pimpinan KPK.
"Oleh karena itu, guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 tahun," kata hakim MK Arief Hidayat dalam sidang.
Sebelumnya, MK menerima gugatan uji materi tentang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) yang diajukan oleh pemohon Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Gugatan Nurul Ghufron terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterima MK. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materiil masa jabatan pimpinan KPK tersebut dengan tiga alasan utama.
Baca juga: Empat Hakim MK Tak Setuju Pimpinan KPK Lima Tahun, Nilai Argumen Pemohon Tidak Singgung Masa Jabatan
Sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema empat tahunan berdasar Pasal 34 UU 30/2002 telah menyebabkan dinilainya kinerja pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja lembaga KPK sebanyak dua kali oleh presiden maupun DPR terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK.
"Karena dengan kewenangan DPR maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya, berpotensi tidak hanya mempengaruhi independensi pimpinan KPK tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri," ucap Arief Hidayat.
Dalam amar putusannya, Anwar Usman menyatakan sejumlah dalil utama terkait putusan persidangan.
"Mengadili pertama mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," tegas Anwar Usman. Kedua disebut Anwar Usman menyatakan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi, "Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan".
Selain itu dalam putusannya, Anwar menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) yang semula berbunyi, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan".