Abraham Samad: Putusan MK Perpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK Tak Penuhi Standar Norma Hukum
Mantan Ketua KPK Abraham Samad menyebut ada keganjilan dalam putusan MK kabulkan permohonan Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan KPK.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua KPK Abraham Samad menyebut ada keganjilan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun.
Menurut Samad, ada keganjilan dalam putusan MK tersebut utamanya soal standar norma hukum.
"Bukan setuju atau tidak setuju, tapi apakah ini memenuhi standar-standar norma hukum atau tidak. Kalau kita bicara standar norma hukum maka ada beberapa keganjilan dalam putusan MK," kata Samad dalam tayangan Kompas TV, Jumat (26/5/2023).
Ia mengungkap bahwa gugatan yang dilayangkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam perkara 112/PUU-XX/2022 merupakan kepentingan pribadi.
Mengingat gugatan tersebut mulanya menyoal masalah batas minimal umur pencalonan pimpinan KPK.
Namun di tengah jalan Nurul Ghufron memasukkan kembali gugatan yang berkenaan dengan masa jabatan pimpinan KPK.
"Di tengah jalan Nurul Ghufron memasukkan kembali gugatan yang berkaitan dengan masa jabatan pimpinan KPK," ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, dalam persidangan Kamis (25/5/2023), MK memutuskan untuk mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.
Gugatan itu teregister dengan nomor perkara 112/PUU-XX/2022.
"Mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Anwar Usman.
Salah satu poin gugatan yang dikabulkan, yaitu tentang masa jabatan Pimpinan KPK.
Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan," bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh sebab itu, pasal tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.