Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Catatan Kritis Putusan MK yang Perpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK

Melalui putusan itu, masa jabatan Pimpinan KPK, termasuk Ghufron, diperpanjang selama 1 tahun dari semula 4 menjadi 5 tahun.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Catatan Kritis Putusan MK yang Perpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK
Istimewa
Wakil Ketua Umum FDCIA Dr Anwar Budiman 

Pertama, perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK dari 4 menjadi 5 tahun melawan adagium Lord Acton (1834-1902), yakni "The power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly".

Lihat saja. Masa jabatan Pimpinan KPK 4 tahun saja, KPK sudah menghadapi banyak masalah internal, terutama terkait indikasi korupsi. Contoh konkret adalah mundurnya Lili Pintauli Siregar dari jabatan Wakil Ketua KPK, yang kemudian digantikan Johanis Tanak, akibat tuduhan gratifikasi. Ketua KPK Firli Bahuri juga tak sekali-dua dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK dan pernah dijatuhi sanksi.

Kedua, MK tidak ,"istiqomah" (konsisten) dengan putusannya sendiri. Putusan MK kali ini berbeda dengan putusan sebelumnya yang diambil saat sejumlah warga mengajukan judicial review atas UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.

Saat itu, MK menolak gugatan yang menyoal masa jabatan hakim konstitusi. MK berdalih kebijakan soal masa jabatan dan usia merupakan wewenang pembuat UU atau yang disebut "open legal policy".

Open legal policy atau kebijakan hukum terbuka adalah kebijakan yang hanya bisa dibuat oleh pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR. MK tidak bisa.

Ketiga, dengan memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK maka MK berarti membuat norma baru.

Hal tersebut tentu saja melampaui kewenangan MK. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang dan norma di dalamnya atau "possitive legislator".

Berita Rekomendasi

Sedangkan MK menurut UU MK merupakan "negative legislator" yang hanya berhak untuk membatalkan sebuah undang-undang atau norma di dalamnya jika bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 56 dan 57 UU MK.

Keempat, putusan MK tersebut mestinya tidak serta-merta berlaku. Jika serta-merta berlaku dan masa jabatan Pimpinan KPK saat ini diperpanjang, maka itu sama artinya dengan berlaku surut atau retroaktif, di mana hal tersebut tak dapat dibenarkan.

Ya, putusan MK seharusnya berlaku untuk periode Pimpinan KPK selanjutnya, bukan periode Firli Bahuri saat ini. Apabila putusan tersebut mulai berlaku sekarang, maka sekali lagi berlakulah asas retroaktif atau berlaku surut.

Kelima, Presiden Jokowi disebut akan segera mengubah Keputusan Presiden (Keppres) No 129/P Tahun 2019 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK untuk menyesuaikan dengan putusan MK yang memperpanjang masa jabatan KPK.

Bagi penulis ini ironis, sebab Presiden selaku pembentuk undang-undang bersama DPR telah diserobot kewenangannya oleh MK. Seharusnya Presiden justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar masa jabatan Pimpinan KPK tetap selama 4 tahun, bukan lima tahun.

Ketika pemerintah proaktif hendak segera mengubah Keppres, justru muncul kecurigaan, ada "hidden agenda" (agenda terselubung) semacam apa antara Presiden, MK dan KPK.

* Dr Anwar Budiman SH MH: Praktisi Hukum/Dosen Hukum Tata Negara Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas