Kasus AW-101, Kuasa Hukum Laporkan Majelis Hakim ke KY dan Badan Pengawasan MA
Menurut Iskandar, setidaknya ada 3 hal yang mendorongnya membuat laporan dugaan pelanggaran kode etik yakni hakim tidak adil, tidak arif dan bijaksana
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Muhammad Zulfikar
“Fakta (hukum) yang diuraikan pada bagian pertimbangan hukum oleh terlapor sebagian besar persis sama dengan fakta yang diuraikan oleh JPU dalam surat dakwaannya, Dengan demikian, segala hasil pemeriksaan di depan persidangan selama ini menjadi tidak berguna dalam
mengungkap kebenaran dan keadilan,” sesalnya.
Iskandar kemudian menguraikan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dilakukan oleh Majelis Hakim Tinggi di PT DKI Jakarta dalam putusan banding kasus AW-101.
Pertama, kata Iskandar, terlapor secara tidak adil menyatakan mengambil alih pertimbangan majelis hakim tingkat pertama, di mana hal itu sangat melukai rasa keadilan terdakwa, sebab majelis tingkat pertama tidak mengakomodir fakta-fakta hukum yang sebenarnya terjadi di persidangan, justru tanpa rasa berdosa sedikit pun malah meng-“copy paste” dakwaan JPU.
Kedua, menurut Iskandar, majelis hakim dengan tidak arif dan tidak bijaksana serta dengan sengaja tidak mempertimbangan alasan pelapor sebagai pembanding bahwa selisih nilai kerugian yang disebutkan oleh majelis hakim tingkat pertama adalah uang pajak PPh dan PPn yang dibayarkan kepada negara dalam pengadaan AW-101 sehingga sejatinya tidak ada kerugian negara.
“Ketiga, majelis hakim tinggi juga bersikap tidak profesional dengan tetap melakukan musyawarah seolah-olah berdasarkan berkas perkara yang diterima makanya dibuat putusan. Padahal faktanya putusan dibuat oleh Majelis Hakim Tinggi tanpa adanya berkas perkara dari pengadilan tingkat pertama. Sikap tidak profesional majelis hakim tinggi ini paling fatal dan menunjukkan adanya dugaan rekayasa untuk menghukum terdakwa, sebab bukti pada surat pengantar petikan putusan yang ditandatangani Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kepada Panitera PN Jakpus disebutkan bahwa berkas perkara tindak pidana pada Bundel A tidak dikirim oleh PN Jakpus. “Artinya, Majelis Hakim Tinggi saat melakukan musyawarah dalam pengambilan putusan hanya dengan cara ‘tutup mata’, main “bim salabim’,” terangnya.
Terhadap laporannya itu, Iskandar berharap KY dan Bawas MA memeriksa pihak-pihak yang dilaporkan tersebut terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, demi terwujudnya hukum yang berkeadilan dan berkemanfaatan serta mempunyai kepastian serta menjamin hak-hak hukum setiap warga negara sesuai dengan amanat konstitusi dan tujuan negara hukum.