VIDEO EKSKLUSIF Sekjen PBB: Banyak Orang Gila karena Gagal Caleg Akibat Proposional Terbuka
PBB tetap mendorong mahkamah konstitusi (MK) agar Pemilu 2024 menggunakan sistem proposional tertutup.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Srihandriatmo Malau
Jadi terbuka, itu banyak lah minusnya. Minusnya yang Pertama, biaya tinggi. Sesama Dapil itu misalkan kursi yang diperebutkan lima, itu lima-limanya ini bertarung keras bagaimana supaya mereka dapat suara terbanyak dari partai yang sama.
Kemudian nomor urut tidak menjadi patokan karena sistem suara terbanyak. Partai pun diabaikan, otomatis kan orang akan mensosialisasikan dirinya. Pak Febby, nomor satu, Pak Afriansyah Feri nomor dua. Nah mensosialisasikan dirinya.
Nah tentunya dengan sosialisasi dirinya ini Program dari partainya itu tidak berjalan. Apakah kita pernah menemukan bahwa spanduk caleg atau baliho itu menjelaskan program ini, tidak. Nah ini timbullah persoalan, sudah biaya tinggi, kemudian Mekanisme itu yang kita lakukan dalam rangka memperebutkan lima kursi tadi di dapil yang sama berebut, tentunya ini membuat hal yang tidak baik.
Kemudian masyarakat akhirnya pragmatisme, timbullah keinginan masyarakat 'siapa yang punya uang kita pilih'. Tentunya yang punya uang yang bersosialisasi ke bawah bawa sesuatu neraka akan tandai dan catat dan mereka akan pilih. Nah caleg yang potensial artinya punya nama tapi tidak punya uang turun ke bawah model saya ini mungkin tidak laku. Dan perlu diingat, di zaman terbuka ini banyak orang-orang gila yang muncul karena gagal nyaleg.
Mas Febby pernah lihat? Sudah nyumbang mesjid, sumbang keramik, nyumbang seng atap, nyuruh bongkar. Pernah kan? Ini adalah sistem terbuka sehingga polarisasi uang itu luar biasa.
Dan yang kedua KPU itu 2024 ini mencoba menganggarkan sekitar 70 sekian triliun. Sementara di zaman dulu itu cuma sekitar 20, 22. Tidak besar. Karena kenapa? Surat suaranya lah, kemudian setiap Dapil, nama beda itu kan cetak print beda lagi. Beda-beda. Mas di dapil saya, terus pindah lagi ke dapil sana itu kan beda-beda. Itu membuat cetakan mahal bos. Kita kan sudah tahu dalam mencetak itu kan kalau sekian ratus ribu dicetak dengan print yang sama dengan cetakan sama, murah. Tapi kalau merubah lagi artinya kan membuat baru, ini lah yang membuat biaya cost tinggi.
Jadi kerugiannya Cost-nya tinggi ya?
Cost-nya tinggi itu dalam segi ekonomi. Tapi dalam segi rekrutmen yang jadi, caleg yang punya uang yg punya kepentingan yg artinya tidak sesuai dengan harapan masyarakat, tentunya mereka hanya menjadikan alat, jembatan supaya mereka berkuasa, Kemudian mereka jga bisa seenaknya saja.
Caleg-caleg ini muncul karena memang tidak pernah dikaderisasi di partai, jadi caleg punya uang daftar ke partai tertentu terus dia punya uang dan diberikan janji manis juga, akhirnya diberikan nomor urut berapa aja.
Tidak penting nomor urutnya?
Gak penting nomor urut berapa, yang penting saya masuk sebagai caleg mau nomor buncit juga gapapa. Nah kemudian akhirnya orang berprediksi seperti itu, kualitas caleg.
Sekarang ini saya punya data, kemarin juga saya bicara di salah satu media, itu 2019 kemarin dari 575 anggota DPR RI yang sekarang terpilih, ini kita punya data. 146 berasal dari pengusaha, kemudian 380 itu mantan pejabat, anak pejabat, mantan kepala daerah, istri kepala daerah, ataupun mantu kepala daerah. Hanya 25 orang yang berasal dari aktivis ataupun juga jurnalis atau advokat.
Model Mas Febby mau nyaleg, sulit mas. Apalagi kita gak punya uang, nah sisanya (anggota DPR RI) itu pensiunan TNI polri dll. Nah inilah yang membuat kualitas anggota DPR RI sekarang menjadi tidak bermakna. Ada (yang berkualitas) tapi tidak banyak. Jadi inilah yang menjadikan Caleg-caleg terpilih tadi tidak mewakili atau tidak menjadikan sebagai anggota dewan yang memikirkan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.
Pak Afriansyah, ada orang berpendapat bahwa dengan sistem proposional tertutup ini maka kekuasan itu ada di pengurus partai atau ketua-ketua partai baik di tingkat pusat Maupun di daerah-daerah karena dialah nanti yg akan bisa menentukan siapa yang jadi urut teratas, leher maupun sepatu?
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.