Pakar Kepemiluan: Parpol Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Karena Lemah di Sisi Keuangan
Ferry Daud Liando menjelaskan alasan kenapa banyak partai politik (parpol) yang menolak pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar kepemiluan sekaligus Dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Ferry Daud Liando menjelaskan alasan kenapa banyak partai politik (parpol) yang menolak pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Hal ini, kata Ferry, adalah karena parpol secara kelembagaan lemah dari sisi keuangan.
Hal ini ia sampaikan dalam webinar yang digelar Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Rabu (7/6/2023).
Sebagaimana diketahui, delapan dari parpol parlemen pun telah menyatakan sikap penolakan sistem proporsional tertutup.
Satu-satunya yang mendukung hanyalah partai yang kini mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden, yakni PDIP.
Ferry menegaskan, meski sistem proporsional tertutup bakal melahirkan jual beli nomor urut dalam internal parpol, hal itu ia sebut bakal jadi bahaya dari sisi kelembagaan.
"Semua dengan uang, termasuk dengan penetapan calon nomor urut, kalau misal tertutup parpol akan jadi kaya raya karena nomor urut dilelang. Ini bahaya karena banyak parpol kita yang belum kuat dr sisi kelembagaan. Punya uang pun tidak," jelasnya.
Lebih lanjut, melihat parpol yang belum kuat dari dana pendanaan inilah yang jadi alasan kenapa banyak parpol yang tetap mempertahankan supaya Pemilu 2024 mendatang menggunakan proporsional terbuka.
Jika menggunakan sistem proporsional terbuka, kata Ferry, parpol tidak perlu mengeluarkan dana kampanye. Sebab dana tersebut bakal dikeluarkan dari kantong calon legislatif itu sendiri.
"Sebagian parpol yang dukung proporsional terbuka karena parpol itu tidak tega untuk mengobrak-abrik uang kas mereka. Mereka mau proporsional terbuka karena ingin caleg sendiri yang membiayai kampanye," tandas Ferry.
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Baca juga: Perjuangkan Sistem Pemilu Terbuka, Golkar Sudah Komunikasi dengan PDIP
Untuk diketahui, sistem pemilu tertutup diberlakukan sejak masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno pada 1955, serta masa pemerintahan Presiden Soeharto yakni 1971 sampai 1992.
Pada Pemilu 1999 juga masih menggunakan sistem proporsional tertutup. Pun Pemilu 2004.
Penerapan sistem proporsional tertutup pun menuai kritik dan dilakukan uji materi ke ke MK pada 2008. Kemudian sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 20219, sistem pemilu beralih menjadi proporsional terbuka.