Catatan Kritis Koalisi Masyarakat Sipil soal Revisi UU TNI: Ini Bukan Serangan Terhadap Institusi
Direktur Amnesty Internasional Indonesia mengatakan, Revisi UU TNI sangat berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Penolakan terhadap wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terus bermunculan.
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) bersama Imparsial, Setara Institute, Elsam, PBHI, dan Koalisi Masyarakat Sipil lainnya menggelar diskusi publik dengan tema, “Revisi UU TNI: Mengembalikan Dwifungsi, Melanggar Konstitusi dan Mengkhianati Reformasi,” pada Kamis, 8 Juni 2023 ini.
Berbicara dalam diskusi tersebut, Usman Hamid selaku Direktur Amnesty Internasional Indonesia mengatakan, Revisi UU TNI sangat berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI karena banyak sekali pasal-pasal bermasalah di dalamnya.
"Kritik terhadap revisi UU TNI ini tidak boleh dilihat sebagai serangan terhadap institusi TNI atau kebencian personal, sama sekali tidak," katanya.
Melainkan, katanya, sebagai upaya bersama, dari masyarakat sipil dan para akademisi untuk memikirkan kemajuan TNI dan kesejahteraan prajurit TNI yang sampai saat ini masih terbengkalai.
Ia menambahkan, pembangungan gelar kekuatan TNI harus memperhatikan dan mengutamakan apakah itu wilayah rawan keamanan, wilayah perbatasan, wilayah rawan konflik, geografis, dan lain sebagainya.
"Ini kenapa kita menolak draft RUU TNI saat ini. Seperti halnya terkait rencana penambahan Kodam untuk setiap provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa masih kuatnya orientasi pembangungan postur dan gelar kekuatan TNI yang berorientasi ke dalam (inward looking), bukan mengantisipasi ancaman dari luar (outward looking)," ujarnya.
"Bahkan juga cenderung backward looking atau mundur, ketimbang forward looking yaitu modern dan maju. Gelar kekuatan TNI saat ini tidak memberikan jaminan keselamatan terhadap prajurit TNI, karena tidak dilakukan berdasarkan keputusan politik negara. Pasal tentang pengerahan TNI yang harus dilakukan berdasarkan keputusan politik negara justru ingin dihapuskan dalam darft revisi UU TNI."
Baca juga: Kronologis Pengamen Gerobak Keliling Tewas Ditusuk Prajurit TNI di Senen, Berawal dari Sewa Sound
Sementara Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, mengatakan, draft revisi UU TNI yang beredar di masyarakat saat ini dapat memundurkan reformasi TNI yang telah dilakukan pada tahun 1998.
Revisi UU TNI mengembalikan TNI kepada fungsi-fungsi di luar pertahanan negara dan menjauhkan TNI dari profesionalisme.
Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal yang ingin diubah, yaitu pasal 7 ayat (3) draft revisi yang menghapus check and balances dari DPR terkait pengerahan kekuatan TNI.
"Sejatinya, tidak boleh ada kekuasaan di satu tangan, pengerahan TNI harus dilakukan atas perintah Presiden yang mendapat persetujuan dari DPR. Check and balances dari DPR ini merupakan bentuk pengendalian demokratis terhadap pengerahan TNI dan ini sangat penting," katanya.
Macetnya upaya penuntasan reformasi TNI, diantaranya adalah reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando territorial, dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Hal-hal ini, menurutnya, tentu akan semakin sulit dan bahkan mustahil jika draft revisi U TNI yang seperti saat ini disahkan oleh DPR.
"Saat ini banyak militer aktif kita melakukan tugas dan fungsi di luar dari tugas pokoknya, seperti pelibatan militer dalam program ketahanan pangan pemerintah. Hal ini tentu melenceng dari tugas pokok TNI dan mengganggu profesionalisme TNI," katanya.
Ia mengatakan, seharusnya TNI hanya fokus untuk menghadapi encaman eksternal, bukan urusan keamanan dalam negeri.