Profil Cokorda Gede Arthana, Hakim Ketua Sidang Kasus Haris Azhar dan Fatia, Hartanya Rp 3 Miliar
Cokorda Gede Arthana menjadi hakim ketua dalam persidangan kasus pencemaran nama baik yang menjerat Haris Azhar dan Fatia vs Luhut Binsar.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Sidang kasus pencemaran nama baik yang menjerat aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (8/6/2023) hari ini.
Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan dari saksi pelapor dalam hal ini Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Suasana persidangan yang berlangsung hingga pukul 15.00 WIB itu sempat 'panas' lantaran adanya hujan interupsi baik dari pihak jaksa maupun kuasa hukum Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
Bahkan Majelis hakim sidang yang diketuai Cokorda Gede Arthana sempat beberapa kali menegur pihak pengacara Haris Azhar.
Baca juga: Fakta-fakta Ricuh di Sidang Haris Azhar dan Fatia, Menggaung Nyanyian: Dimana-mana Kita Ditindas
Lantas, siapakah Cokorda Gede Arthana?
Cokorda Gede Arthana merupakan satu di antara hakim yang bertugas di PN Jakarta Timur.
Dikutip dari ikahi.or.id, Cokorda Gede Arthana menamatkan pendidikan S1 Hukum Perdata di Universitas Udayana, Bali.
Sementara untuk gelar Magister, ia dapat setelah menempuh pendidikan S2 di Universitas Mahendradatta jurusan Hukum Pemerintahan.
Sebelum bertugas di PN Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana juga sempat bertugas di sejumlah pengadilan.
Di antaranya di PN Jayapura, PN Singaraja Bali, dan terakhir di PN Surabaya.
Saat bertugas di PN Surabaya, Cokorda Gede Arthana pernah menyidangkan sejumlah kasus yang membetot perhatian masyarakat.
Salah satunya perkara suap di Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga yang melibatkan Bupati Sidoarjo saat itu, Saiful Ilah (Abah Ipul) pada 2020.
Dalam vonisnya, Cokorda Gede Arthana menjatuhkan hukuman pada Saiful Ilah dengan pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan penjara, Senin (5/10/2020).
Putusan itu terbilang lebih rendah dibanding tuntutan jaksa yang dalam sidang sebelumnya meminta majelis menjatuhkan hukuman penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan penjara.