Hakim MK Usulkan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas Begini Cara Penetapan Caleg Terpilihnya
Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak untuk seluruhnya gugatan sistem pemilu dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak untuk seluruhnya gugatan sistem pemilu dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022.
MK memutuskan sistem pemilu tetap dilaksanakan dengan proporsional terbuka alias coblos caleg.
Dalam putusan ini, terdapat dissenting opinion dari satu Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Ia menyampaikan gagasan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas.
Sistem ini yaitu memperbaiki berbagai kelemahan yang ada pada sistem proporsional terbuka dan mengambil kelebihan pada sistem proporsional tertutup.
"Gagasan yang ditawarkan untuk memperbaiki sistem pemilu ke depan adalah mengusung sistem proporsional terbuka terbatas," kata Arief membacakan dissenting opinionnya, di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).
Menurut Arief, setelah 4 pemilu yakni pada 2004, 2009, 2014, dan 2019 menerapkan sistem proporsional terbuka, maka perlu adanya evaluasi, perbaikan dan perubahan.
Peralihan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke sistem terbuka terbatas dipandang diperlukan.
Pasalnya ia menilai dari perspektif filosofis dan sosiologis, pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh.
Sebab para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika, menghalalkan segala cara untuk bisa dipilih rakyat, serta adanya potensi konflik tajam dari masyarakat yang berbeda pilihan.
"Terutama diantara masing-masing calon anggota legislatif dan tim suksesnya dalam satu partai yang sama atau konflik internal antar calon anggota legislatif dalam satu partai harus berakhir di MK karena tidak dapat diselesaikan partainya," kata Arief.
Arief sependapat dengan ahli Mada Sukmajati yang mendasarkan peralihan sistem pemilu dari proporsional terbuka perlu dilakukan karena pertimbangan karena sistem ini mendorong fenomena pilihan personal dari para pemilih yang bisa jadi menyisakan potensi konflik horizontal usai pemilu.
Selain itu pada sisi efisiensi anggaran, waktu dan tenaga, sistem pemilu proporsional terbuka terbatas juga lebih sesuai.
"Gagasan yang ditawarkan adalah melalui sistem pemilu proporsional terbuka terbatas," ungkapnya.
Adapun dalam sistem proporsional terbuka terbatas, terdapat beberapa alternatif penetapan calon terpilih.
1. Mencantumkan tanda gambar partai politik dan daftar nama caleg pada surat suara. Namun penentuan dan penetapan calon terpilih didasarkan pada daulat parpol dengan sistem nomor urut, khusus bagi penentuan kuota 30 persen, dan berdasarkan pada suara terbanyak bagi caleg lainnya. Sehingga caleg perempuan ditempatkan di nomor urut kecil.
Baca juga: MK Putuskan Sistem Pemilu 2024 Terbuka, Demokrat: Ini Kemenangan Rakyat
2. Mencantumkan tanda gambar parpol dan daftar nama caleg pada surat suara berdasarkan nomor urut. Namun penentuan calon terpilih didasarkan pada nomor urut yang disusun berdasarkan hasil seleksi yang objektif, partisipatif transparan dan akuntabel dengan memperhatikan pada nilai potensi, jiwa kepemimpinan, integritas, kerja sama, komunikasi, komitmen kualitas, dan perekat bangsa.
3. Mencantumkan tanda gambar parpol dan daftar nama caleg pada surat suara berdasarkan nomor urut. Namun mekanisme yang digunakan seperti pola penentuan caleg pemilu 2004. Yakni nama calon yang mencapai angka bilangan pembagi pemilih (BPP) ditetapkan sebagai calon terpilih. Sedangkan nama calon yang tak mencapai BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada dapil yang bersangkutan.
"Dengan begitu pola ini tetap memberi ruang bagi masyarakat dalam menentukan wakilnya sepanjang mencapai angka BPP dan tetap memberi ruang bagi parpol menentukan calonnya apabila tidak memenuhi angka BPP," jelas Arief.