Cerita Eks Menkeu Lihat Soeharto Marah soal Kasus BLBI, Minta Pelaku Dikirim ke Nusakambangan
Pansus BLBI DPD mengundang Fuad Bawazier bersama Bank Central Asia (BCA) Budi Hartono dalam RDPU tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ternyata juga pernah membuat marah Presiden Soeharto.
Bahkan Presiden Soeharto waktu itu meminta para pelaku untuk dikirim ke penjara Nusakambangan.
Pengakuan mengejutkan itu datang dari Eks Menteri Keuangan (Menkeu) era Soeharto yakni Fuad Bawazier pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Khusus (Pansus) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Selasa (20/6/2023).
Sebelumnya, Pansus BLBI DPD mengundang Fuad Bawazier bersama Bank Central Asia (BCA) Budi Hartono dalam RDPU tersebut.
Namun Budi Hartono mengirimkan surat sedang berada di luar negeri dan mengaku tidak tahu menahu soal BLBI.
Baca juga: Utang Lapindo Tak Kunjung Dibayar, Satgas BLBI Serahkan ke PUPN Jakarta
Dalam rilis pers Pansus BLBI DPD, Fuad Bawazier mengaku agak tersentak mendapat undangan dari Pansus BLBI.
Sebab hal itu adalah persoalan lama yang ia geluti langsung saat itu namun tak kunjung selesai hingga hari ini.
“Jujur saya capek melihat kasus ini kembali karena dari dahulu belum tuntas-tuntas. Saya pernah dipanggil oleh komisi IX DPR pada tanggal 9 Februari 2000. Pada intinya dalam rapat tersebut saya menyampaikan bahwa jika tidak ada keseriusan dalam menangani kasus ini akan kandas di tengah jalan karena banyak faktor seperti politik, hukum, dan seterunya,” kata Fuad yang menjabat sebagai Menkeu di saat-saat krusial yakni pada medio 16 Maret – 21 Mei 1998 saat BLBI dikucurkan untuk menalangi bank-bank yang terkena rush masyarakat.
Kepada Pansus BLBI DPD RI, Fuad Bawazier mengaku bahwa pernah menulis surat kepada Presiden Soeharto untuk meminta tindak lanjut laporan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dari Rp 109 triliun penyaluran tersebut hampir 50 persen diantarnya diberikan kepada dua bank yakni BDNI dan Bank Danamon.
Dari jumlah itu, BDNI mendapatkan pinjaman sebanyak Rp 27,6 Triliun dan Bank Danamon sebanyak Rp 25,8 Triliun.
“Namun berdasarkan laporan dari Tim Audit Internasional dilaporkan aset setelah pemeriksaan BDNI hanya Rp 5,9 Triliun dan Bank Danamon hanya Rp 13,3 Triliun. Jadi pada saat itu saja, hanya untuk 2 bank tersebut pemerintah harus menanggung kerugian sebesar Rp. 85 Triliun dari jumlah Rp. 48,2 Triliun ditambah Rp. 37,3 Triliun,” papar Fuad Bawazier.
Menurut Fuad, BLBI sebetulnya terang-terangan membuat perbuatan kriminal karena pada saat itu bank-bank melakukan penyimpangan.
Misalnya, Bank Danamon dan BDNI menggunakan skema ambil kredit terhadap banknya sendiri dengan memanfaatkan karyawan tukang parkir dan sebagainya.