Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hakim Nilai BPKP Berhak Hitung Kerugian Negara Rp 8 Triliun dalam Kasus BTS Kominfo

Alasannya, penghitungan tersebut dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), lembaga yang memang memiliki kewenangan tersebut.

Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Hakim Nilai BPKP Berhak Hitung Kerugian Negara Rp 8 Triliun dalam Kasus BTS Kominfo
Tribunnews.com/Ashri Fadilla
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi atau nota keberatan tiga terdakwa perkara dugaan korupsi pengadaan tower BTS. Ketiga terdakwa itu ialah: Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak; dan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali. Penolakan itu disampaikan dalam sidang pembacaan putusan sela, Selasa (18/7/2023). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menilai bahwa penghitungan kerugian negara terkait perkara korupsi pengadaan tower BTS BAKTI Kominfo sah.

Alasannya, penghitungan tersebut dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), lembaga yang memang memiliki kewenangan tersebut.

"Hasil audit, bukti kerugian keuangan negara itu oleh BPKP, lembaga yang sah, dapat menghitung kerugian keuangan negara," kata hakim dalam sidang pembacaan putusan sela terdakwa Irwan Hermawan, Selasa (27/7/2023).

Pandangan terkait penghitungan kerugian yang mencapai Rp 8 triliun ini disampaikan Majelis sebagai tanggapan atas keberatan terdakwa Irwan Hermawan.

Dalam eksepsinya, tim penasihat hukum Irwan menyatakan keberatan atas hasil penghitungan BPKP yang baru terbit setelah penetapan tersangka.

Menurut hakim, pengumuman hasil penghitungan kerugian negara tak mesti dilakukan sebelum penetapan tersangka.

Berita Rekomendasi

"Tidak ada ketentuan yang menginginkan bila hasil audit harus terbit sebelum penetapan tersangka karena ada bukti lain yang diyakini oleh penyidik untuk menentukan seseorang menjadi tersangka," katanya.

Selain itu, Majelis mengungkapkan bahwa tim penasihat hukum semestinya menggunakan mekanisme praperadilan apabila merasa penetapan tersangka menyimpangi ketentuan yang berlaku.

"Ada mekanisme hukum lain yang bisa dilakukan penasihat hukum terdakwa bila diyakini ada tidak sahnya penetapan tersangka sebelumnya," ujarnya.

Irwan Hermawan sendiri dalam perkara ini telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan tower BTS bersama: eks Menkominfo, Johnny G Plate; Eks Dirut BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif; Tenaga Ahli HUDEV UI, Yohan Suryanto; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak; dan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali.

Dalam perkara ini, para terdakwa telah dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Teruntuk Anang Latif, Galumbang Menak, dan Irwan Hermawan juga dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU), yakni Pasal 3 subsidair Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas