Pengamat Sebut SEMA Larangan Pencatatan Nikah Beda Agama Harusnya Dicabut: Itu Ngaco
Bivitri mengatakan, SEMA bukan merupakan sebuah peraturan, melainkan pedoman untuk hakim.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti merespons perihal Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) soal larangan hakim mengabulkan pencatatan pernikahan beda agama.
Bivitri mengatakan, SEMA bukan merupakan sebuah peraturan, melainkan pedoman untuk hakim.
"Itu ngaco tuh. Karena gini, SEMA itu sebenarnya kan bukan peraturan. Peraturan itu kalau menurut Undang-Undang (UU) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ada pasal 7 ada pasal 8 tuh, ada hirarki yang Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, PP, Perpres, Perda. Terus pasal delapannya bilang, 'oh kalau peraturan menteri, peraturan MA'. Kalau PERMA itu peraturan. Tapi SEMA hanya untuk hakim," kata Bivitri, kepada Tribunnews.com, Kamis (27/7/2023).
Meski bukan sebuah peraturan, Bivitri menyebut, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tersebut melanggar UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).
Sebab, menurutnya, UU Adminduk membolehkan pencatatan pernikahan beda agama.
SEMA bukan merupakan sebuah peraturan, melainkan pedoman untuk hakim
"Tapi SEMA itu sebenarnya melanggar Undang-Undang Adminduk. Padahal namanya SEMA enggak boleh melanggar UU. Kenapa saya bilang melanggar, karena Undang-Undang Adminduk itu memberikan mekanisme pencatatan. Jadi bukan membolehkan perkawinannya, (tapi) pencatatnnya itu, melalui penetapan pengadilan," jelasnya.
"Jadi itu menurut saya kesalahannya SEMA di situ, dia melanggar Undang-Undang Adminduk. Jadi hakim enggak boleh menetapkan. Jadi hakim enggak boleh lagi ada pencatatan melalui penetapan pengadilan," sambungnya.
Lebih lanjut, Bivitri mengatakan, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini seharusnya dicabut MA.
Hal itu, jelasnya, dikarenakan SEMA tidak bisa diuji karena bukan sebuah peraturan.
"Jadi harusnya dicabut. Jadi menurut saya SEMA ini salah karena kan enggak bisa diuji. Di atas kertas dia bisa diuji, misalnya ke PTUN, tapi kan mana mungkin pengadilan menyatakan tidak berlaku sebuah surat edaran yang dikeluarkan oleh bosnya sendiri. Itu kan yang ngeluarin Ketua MA," ucap Bivitri.
Ia menerangkan, jalan satu-satunya untuk mencabut SEMA ini melalui Ketua MA yang mencabutnya sendiri atau juga melalui penerbitan SEMA baru.
"Jadi SEMA itu sangat tidak akuntabel. Jadi tidak seharusnya dikeluarkan. Jadi sekarang yang bisa dilakukan hanya, kalau Ketua MA cabut sendiri, keluarkan SEMA baru," sambungnya.
Sehingga berdasarkan kekurangan-kekurangan dari SEMA yang dijelaskannya itu, Bivitri menegaskan, tak boleh ada aturan turunan yang disesuaikan setelah SEMA ini dikeluarkan.
"Justru enggak boleh ada tindaklanjut karena levelnya cuma SEMA. Saya bilang cuma ya karena memang itu bukan peraturan. Jadi enggak boleh ada yang disesuaikan berdasarkan SEMA," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan larangan untuk hakim mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
Baca juga: SETARA Institute Desak Mahkamah Agung Cabut SEMA Larangan Nikah Beda Agama
Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023.
Juru Bicara MA Suharto mengatakan, SEMA tersebut ditujukan kepada Ketua Pengadilan Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
"Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," kata Suharto, saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (21/7/2023).
Kemudian, Suharto menjelaskan, SEMA tersebut dikeluarkan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, yang merujuk pada Undang-Undang (UU).
"Tujuannya jelas untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga merujuk pada ketentuan Undang-Undang. Itu sesuai fungsi MA," ucapnya.
Ia menegaskan, SEMA bukan regulasi atau aturan, melainkan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara pemohonan pencatatan perkawinan beda agama.
"SEMA itu prinsipnya bukan regulasi, tapi pedoman atau petunjuk, dan rujukannya juga Pasal 2 UU Perkawinan," kata Suharto.
"MA menjalankan fungsi pengawasan seperti yang diatur dalam Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU MA," sambungnya.
"SEMA dipedomani ke depan, artinya ke depan bila hakim mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan beda agama, agar mepedomani SEMA tersebut yang mengacu pada Pasal 2 UU Perkawinan."
Diberitakan sebelumnya, larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang di tanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin.
Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 itu memaparkan mengenai ‘Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.'
MA meminta pengadilan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan tersebut perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Isi Surat Edaran Mahkamah Agung
Berikut isi SEMA:
Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.
Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengizinkan pernikahan beda agama di antara dua pasangan kekasih Islam dan Kristen. Selain berdasarkan UU Adminduk, penetapan yang diketok hakim Bintang AL mendasarkan alasan sosiologis, yaitu keberagaman masyarakat.