Pengamat Militer: Meski KPK Tangani Korupsi Tapi Belum Ada Regulasi yang Atur Usut Prajurit TNI
Meski KPK memiliki otoritas dalam mengusut kasus korupsi, tetapi hingga kini belum ada regulasi yang mengatur kewenangan untuk mengusut pihak TNI.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penanganan kasus suap Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi Kepala Basarnas Letkol Afri Budi Cahyanto jadi polemik.
Keduanya ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka. Namun, pihak Puspom TNI tak terima.
Puspom bilang bahwa yang bisa menetapkan dan menangani kasus seorang militer adalah penyidik militer.
Pernyataan Puspom TNI diamini oleh pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.
Menurut Khairul, meski KPK memiliki otoritas dalam mengusut kasus korupsi, tetapi hingga kini belum ada regulasi yang mengatur kewenangan untuk mengusut pihak TNI.
"Walaupun KPK adalah otoritas dalam pemberantasan korupsi, sejauh ini belum ada regulasi yang mengatur kewenangan mereka dalam penanganan perkara yang tersangkanya adalah prajurit TNI," kata Khairul kepada Tribunnews.com, Sabtu (29/7/2023).
Adapun dalam kasusnya KPK turut melibatkan tiga pihak swasta sebagai tersangka pemberi suap.
Kata Khairul, penanganan kasus dugaan suap Kepala Basarnas bisa dilakukan secara koneksitas, yaitu KPK menangani swasta dan Puspom mengurus pihak militer.
"Nah karena kasus ini melibatkan sipil dan prajurit aktif maka yang mungkin hanya penanganan secara koneksitas sesuai Pasal 91 KUHAP. Tapi itupun tentu harus dikoordinasikan dulu," kata dia.
Di sisi lain, Khairul melihat ada itikad tidak baik dari ucapan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, yang menyebut penyelidik telah khilaf dalam penanganan kasus Kepala Basarnas. Menurutnya itu hal yang janggal.
"Saya melihat ada indikasi itikad tidak baik dari pimpinan KPK yang lebih dari sekadar kelalaian dan perlu didalami motifnya. Menurut saya adalah hal yang janggal ketika pimpinan KPK mengaku itu kelalaian tim mereka di lapangan," kata Khairul.
"Prosedur di KPK sangat ketat dan semua pergerakan harus atas perintah dan seizin pimpinan. Jangan lupa juga, OTT itu diakui KPK bermula dari informasi masyarakat, bukan temuan atau hasil penyelidikan KPK dari awal termauk misalnya penyadapan. Karena itu omong kosong jika pimpinan KPK tidak mengetahui sejak awal bahwa salah satu target adalah prajurit yang jabatannya Koorsmin dan bertugas melayani Kepala Basarnas," imbuhnya.
Dalam fase OTT maupun permintaan keterangan, kata Khairul, langkah KPK secara teknis masih bisa dimaklumi karena kehadiran pemberi dan penerima uang diperlukan agar OTT sah dan pengembangan atau pendalaman bisa dilakukan.
Tapi di fase gelar perkara dan penetapan tersangka, adalah hal yang fatal ketika pimpinan KPK tidak segera berkoordinasi dan melimpahkan pihak yang tertangkap dan yang potensi tersangka hasil pendalaman dari unsur TNI ke Puspom.
"Itu tidak bisa diklaim sebagai kelalaian yang cukup diselesaikan dengan permintaan maaf, apa lagi dengan mengorbankan personel di lapangan. Karena itu TNI mestinya bisa mengadukan pimpinan KPK ke Dewas atas dugaan pelanggaran etik," kata dia.