Psikolog: UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berpihak pada Korban
Psikolog Roslina Verauli mengatakan, jumlah tindak kekerasan seksual, pelecehan seksual pada anak perempuan tidak pernah mewakili data sesungguhnya.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Psikolog Roslina Verauli mengatakan, jumlah tindak kekerasan seksual, pelecehan seksual pada anak perempuan tidak pernah ada yang atau betul-betul representing mewakili data yang sesungguhnya.
Ini terjadi karena selalu ada konspirasi yang didiamkan atau silence.
“Angka dalam kekerasan seksual tidak pernah ada, dalam pengertian tidak ada yang ngelapor, karena malu, semuanya pengen diam. Ko, Diam! karena dalam kasus-kasus pelecehan seksual selalu ada yang menyalahkan korban," kata Roslina dalam keterangannya, Sabtu (12/8/2023).
Psikolog yang sering menjadi pendamping korban kekeran seksual mencontohkan, banyak yang mengatakan," Salahnya dia kali, karena gesture, gerakan tubuhnya genit."
Kemudian pada korban, ketika terjadi pelecehan seksual, yang pertama muncul, adalah malu, malu jadi korban.
"Kemudian ada perasaan menyalahi diri sendiri. Dan akhirnya korban jadi takut untuk bicara,bahkan juga takut bicara pada orangtua, takut disalahkan keluarga dan takut bikin keluarga malu,” katanya.
Roslina Verauli mengapresiasi munculnya Undang-undang (UU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual karena pasal-pasalnya berpihak pada korban.
Ia mencontohkan selama ini, korban kekerasan seksual sering ditanya berkali-kali.
"Semisalnya saat lapor polisi. korban ditanya kejadiannya secara secara spesifik, bagaimana secara detailnya. Kemudian ketemu psikolog ditanyakan lagi. Ketemu lawyer, begitu lagi. Dampaknya apa? Yang tadinya trauma jadi pos trauma. Dalam UU ini laporan cukup satu pintu,” ucapnya.
Kemudian orang-orang yang mengetahui kejadian jika menutupi akan dapat sanksi hukum.
“Orang-orang di sekitar korban harus bicara. Korban betul betul dilindungi dalamartian orang- orang yang menutupi terjadinya kekerasan seksual akan dihukum. Bisa ditanyakan pada ibu Eni dari KPPA,” jelas Roslina.
Selly A. Gantina, Anggota Komis VIII DPR RI mengatakan, Undang Undang Kekerasan Seksual menutupi ruang-ruang kosong dari UU sebelumnya.
"Karena ini kan lex specialis, jadi kan sudah ada UU Perlindungan Anak, sudah ada UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pernikahan.
Tapi kan masih banyak ruang - ruang kosong, sehingga kita lengkapi di dalam Undang - undang kekerasan seksual, dan ruang - ruang kosong inilah yang akhirnya kita buat lex specialis tentang kekerasan seksual supaya nanti tidak tumpang tindih dengan hukum pidana," jelas Selly .
Selly menyebut terdapat perbedaan antara Undang - undang Seksual dengan undang undang kesusilaan.
"Selama ini, banyak pertanyaan kenapa diributkan dengan UU kesusilaan?
Jadi yang harus kita ketahui dahulu, bahwa berbeda, UU Kesusilaan dengan UU Seksual.
Di dalam Undang - undang Kekerasan Seksual, kita berbicara tentang sembilan jenis kekerasan seksual plus ada kekerasan seksual lainnya," katanya.
Eni widiyanti, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumahtangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menjelaskan, bahwa KemenpanPPA tengah melakukan sosialisasi UUTPKS.
"Agar para warga negara yang ada di seluruh Indonesia bisa paham bahwa sebetulnya negara betul - betul melindungi mereka, para korban.
Mereka bisa hidup layak, mereka bisa kembali di tengah-tengah masyarakat karena hak - hak mereka bukan hanya pada korban, tapi juga keluarga korban pun dilindungi oleh negara sehingga mereka bisa kembali hidup normal," jelasnya.
Korban kekerasan seksual akan dilindungi secara privasi mereka, dilindungi juga kehidupan mereka secara penghidupan yang layak.
"Model terapis mereka juga akan dipantau negara, karena tidak mudah untuk mereka bisa terjun kembali ketika mereka jadi korban. karena itu mereka butuh healing yang cukup lama, dan itu juga diatur oleh negara. Ada semacam rumah singgah ya kayak begitu," tuntasnya.