Pidato Lengkap Jokowi di Sidang Tahunan MPR: Singgung Arahan Pak Lurah hingga Indonesia Emas 2045
Berikut pidato lengkap Jokowi di Sidang Tahunan MPR yang digelar pada Rabu (16/8/2023). Ia menyinggung soal Pak Lurah hingga Indonesia Emas 2045.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Suci BangunDS
Jokowi juga mengungkapkan, pemerintah telah memiliki strategi untuk meraih itu.
"Ini yang bolak-balik saya sampaikan di setiap kesempatan. Bahwa Indonesia saat ini punya peluang besar untuk meraih Indonesia Emas 2045, meraih posisi jadi lima besar kekuatan ekonomi dunia."
"Kita punya kesempatan dan tidak hanya peluangnya saja. Tapi strategi meraihnya sudah ada, sudah dirumuskan. Tinggal apakah kita mu memfokuskan energi kita untuk bergerak maju atau justru membuang energi kita untuk hal-hal yang tidak produktif, yang memecah belah, bahkan yang membuat kita melangkah mundur," katanya.
Baca juga: Presiden Joko Widodo Resmikan Jalan Tol Bocimi Seksi II Cigombong-Cibadak
Selengkapnya berikut pidato lengkap Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR pada Rabu (16/8/2023):
Bapak, ibu, saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, para hadirin yang saya muliakan.
Kita saat ini sudah memasuki tahun politik. Suasana sudah hangat-hangat kuku dan sedang tren ini di kalangan politisi dan parpol. Setiap ditanya capres dan cawapresnya, jawabannya: "Belum ada arahan Pak Lurah." Saya, saya, saya sempat mikir, siapa ini Pak Lurah. Sedikit-sedikit kok Pak Lurah. Belakangan saya tahu yang dimaksud Pak Lurah ternyata Saya.
Ya, saya jawab saja: Saya bukan lurah. Saya adalah Presiden Republik Indonesia. Ternyata, ternyata Pak Lurah itu, kode. Tapi perlu saya tegaskan, saya ini bukan Ketua umum parpol, bukan ketua umum partai politik, bukan juga ketua koalisi partai dan sesuai ketentuan undang-undang yang menentukan capres dan cawapres itu adalah partai politik dan koalisi partai politik.
Jadi saya ingin mengatakan itu bukan wewenang saya, bukan wewenang Pak Lurah. Bukan wewenang Pak Lurah, sekali lagi. Walaupun saya paham ini sudah menjadi nasib seorang Presiden untuk dijadikan "paten-patenan" dalam Bahasa Jawa, dijadikan alibi, dijadikan tameng.
Bahkan, walau kampanye belum mulai, foto saya banyak dipasang di mana-mana. Ya saya harus ngomong apa adanya. Saya ke Provinsi A eh ada, ke Kota B eh ada, ke Kabupaten C ada juga. Sampai ke tikungan-tikungan desa saya lihat, ada juga. Tapi, bukan foto saya sendirian. Ada di sebelahnya bareng capres. Ya saya kira menurut saya juga nggak papa, boleh-boleh saja.
Bapak Ibu yang saya muliakan.
Posisi Presiden itu tidak senyaman yang dipersepsikan. Ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Banyak permasalahan rakyat yang harus diselesaikan dan dengan adanya media sosial seperti sekarang ini, apapun, apapun bisa disampaikan kepada Presiden. Mulai dari masalah rakyat di pinggiran sampai kemarahan, sampai ejekan, bahkan makian dan fitnahan bisa dengan mudah disampaikan dengan media sosial.
Saya tahu ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Ya ndak papa, sebagai pribadi saya menerima saja.
Tapi yang membuat saya, saya sedih. Budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini, kok kelihatannya mulai hilang? Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini, sekali lagi polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia. Memang tidak semua seperti itu. Saya melihat mayoritas masyarakat juga sangat kecewa dengan polusi budaya tersebut. Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani kita semua, nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik. Bersatu menjaga mentalitas masyarakat sehingga kita bisa tetap melangkah maju, menjalankan transformasi bangsa. Menuju Indonesia Maju. Menuju Indonesia Emas 2045.
Ini yang bolak balik saya sampaikan di setiap kesempatan. Bahwa Indonesia saat ini punya peluang besar untuk meraih Indonesia Emas 2045, meraih posisi jadi 5 besar kekuatan ekonomi dunia. Kita punya kesempatan dan tidak hanya peluangnya saja. Tapi strategi meraihnya sudah ada, sudah dirumuskan. Tinggal apakah kita mau memfokuskan energi kita untuk bergerak maju atau justru membuang energi kita untuk hal-hal yang tidak produktif, yang memecah belah. Bahkan yang membuat kita melangkah mundur.