Wawancara Khusus dengan Mayjen Purn TB Hasanuddin: Beli Pesawat Jangan Cuma karena Selera
TB Hasanuddin mengatakan, bahwa pihaknya bersama jajaran di Komisi I DPR tak mendapat laporan dan pembahasan dari Kemenhan RI soal pesawat bekas.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Mayjen TNI (Purn.) TB Hasanuddin terus menyoroti soal pembelian pesawat bekas Mirage 2000-5 dari Qatar senilai Rp 12 triliun oleh Kementerian Pertahan (Kemenhan) RI.
TB Hasanuddin mengatakan, bahwa pihaknya bersama jajaran di Komisi I DPR tak mendapat laporan dan pembahasan dari Kemenhan RI soal pembelian pesawat bekas tersebut.
Apalagi, pesawat jet asal Qatar itu tak dimasukan dalam rencana pembelian serta di bahas bersama dengan Komisi I DPR. Dia bahkan mengetahui soal pembelian pesawat bekas dari media massa.
Hal itu disampaikan TB Hasanuddin saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Kamis (17/8).
"Mari kita lihat, pembelian di Qatar itu sampai sekarang ini belum pernah dibahas di komisi I. Jadi tidak pernah dipaparkan bahwa kami akan membeli nih 10 atau 11 unit dari Mirage 2000-5 dari Qatar atau bekas untuk dibeli ke Indonesia," kata TB Hasanuddin.
Pria yang akrab disapa Kang TB ini juga menyoroti soal lifetime atau masa hidup pesawat Mirage 2000-5 dari Qatar yang hanya sampai 10 tahun ke depan.
Meski, dia mendapat penjelasan dari Dinas Penerangan Kemenhan bahwa pembelian Mirage dari Qatar dalam rangka mengisi kekosongan ketika pesawat Rafale dari Perancis akan datang tiga tahun kemudian.
Tetapi, TB Hasanuddin juga mendapat informasi bahwa pesawat Mirage dari Qatar tidak serta merta bisa dikirim dalam waktu dekat.
"Lalu mereka akan reparasi dulu pemeliharaan dulu baru dua tahun kemudian akan tiba. Kalau dua tahun baru akan tiba lalu dari hari ini sampai dua tahun kemudian pakai pesawat apa kita. Kosong juga," sambung TB.
TB Hasanuddin juga mengaku tidak mengetahui secara pasti soal uang pembelian pesawat Mirage asal Qarar tersebut. Karena, anggarannya tak dibahas di Komisi I DPR.
Dia hanya menyebut, bahwa postur perencanaan pembelian pesawat yang masuk ke Komisi I DPR RI hanya pesawat jet Rafale asal Prancis.
TB Hasanuddin juga menanggapi soal pembelian Kapal Selam asal Korea Sslatan. Dia pun juga menyoroti soal anggapan bahwa Kapal Selam yang dibeli tidak bisa 'menyelam'.
Dia pun mengingatkan bahwa pembelian alusista perlu direncanakan dengan matang. Sebab, jangan sampai ada anggapan yanh muncul bahwa pembelian alusista atas selera pemimpinnya.
"Jadi jangan membeli pesawat atau alusista itu jangan hanya karena selera para pemimpin saja. Harus selera nasional sesuai aturan perundang-undangan," tegas TB Hasanuddin.
Berikut petikan wawancara dengan TB Hasanuddin dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra terkait pembelian pesawat bekas Mirage 2000-5 dari Qatar senilai Rp 12 triliun dan alusista pertahanan RI menghadapi ancaman perang:
Pak TB, ada yang berpendapat ketika terjadi perang, pesawat kita ini nggak ada satu pun yang siap untuk bertempur karena macam-macam sebab?
Kalau itu yang namanya perang teknologi mungkin iya. Perang teknologi itu ada perang terutama yang menggunakan alat perlengkapan yang memang tidak bisa dibuat dalam waktu segera, misalnya pesawat udara, pesawat tempur, kapal perang tetapi perang itu bukan hanya di udara dan di laut kita kan juga bisa bertempur di darat dan sebaliknya sesuai dengan doktrinnya itu yang kita miliki.
Tapi kalau mau bicara pesawat mohon maaf bukan pesawat tetapi kalau tentara kita lemah tidak juga. Kita ini ranking kelima belas di dunia.
Kemudian kalau di wilayah Asia Tenggara ya pertama lah, nomor satu. Kalau di Asia mungkin kita nomor tiga atau nomor empat setelah India, Jepang dan China. Kita masih cukup kuat.
Soal ini, pembelian 1 skuadron atau 12 unit jet tempur Mirage 2000-5 dari Qatar. Manurut Pak TB, ini kan konon untuk memperkuat alusista kita juga?
Begini, jadi soal Qatar ini, menjadi bahan pembicaraan, baik di lingkungan Komisi I DPR maupun di kalangan pengamat militer dan juga di masyarakat. Mari kita lihat, Pembelian di Qatar itu sampai sekarang ini belum pernah dibahas di komisi I. Jadi tidak pernah dipaparkan bahwa kami akan membeli nih 10 atau 11 unit dari Mirage 2000-5 Dari Qatar atau bekas untuk dibeli ke Indonesia.
Saya sendiri anggota Komisi I DPR hanya mendapatkan informasi itu dari media. Lalu kami coba mencari informasi bahwa pesawat itu pun itu akan dibeli dan sudah cukup tua. Lifetime nya itu tinggal 10 tahun.
Lalu saya dapat informasi juga penjelasan dari Dinas Penerangan Kemenhan bahwa pembelian Mirage dari Qatar Itu dalam rangka mengisi kekosongan ketika pesawat Rafale dari Perancis itu datang tiga tahun kemudian.
Oke, sambil nunggu tiga tahun di tahun sekarang ini di tahun 2023 ke 2026 baru datang. Kekosongannya itu karena apa karena pesawat-pesawat kita tidak efektif seluruhnya bisa terbang. Karena maintenancenya dan suku cadangnya. Karena jujur biaya pemeliharaan juga kurang.
Tetapi setelah itu kami dapat informasi pesawat Mirage dari Qatar Itu juga tidak serta merta sekarang bisa dikirim. Lalu mereka akan reparasi dulu, pemeliharaan dulu baru dua tahun kemudian akan tiba. Kalau dua tahun baru akan tiba, lalu dari hari ini sampai dua tahun kemudian pake pesawat apa kita. Kosong juga.
Saya diskusi dengan para perwira mantan-mantan penerbang TNI AU, kenapa kalau misalnya kita ada uang sampai dengan Rp10 triliun separuhnya saja Rp5 triliun dipakai untuk revitalisasi pesawat-pesawat yang sekarang ini, baik Sokhoi maupun F-16, ya itu akan bangkit semua. Cukup. Kenapa tidak jalan itu yang diambil.
Nah ini kan konon biaya untuk membeli pesawat bekas dari Qatar ini kan sekitar Rp12 Triliun. Ini duitnya dari mana?
Tidak tahu. Kenapa Komisi I tidak tahu, Iya tidak pernah dilaporkan, tidak perlu diskusikan.
Jadi seharunya setiap anggaran kan harusnya lolos dulu di DPR?
Jadi setiap anggaran itu ada yang namanya rapat kerja Komisi I DPR bersama Menhan, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan bicarakan soal program pengadaan alusista tahun berikutnya. Ini tahun 2022 rapatnya 6 Juni berbicara soal tahun 2023. Nah Mirage itu kan diadakannya konon kontraknya di tahun 2023, di buku ini tidak ada. Jadi saya mau bicara dari mana.
Lalu, kalau sudah kontrak begitu menurut pengetahuan Pak TB, selama itu biayanya gimana kalau rencana anggaran enggak ada?
Tanya sama yang menbuat kontrak saja. Saya enggak tau, takut salah.
Kalau untuk pesawat Rafale ada Pak?
Kalau itu memang ada, dan pernah dirapatkan sekilas tentang rencana pengadaan.
Berarti Komisi I sudah setuju soal Rafale yang 3 tahun lagi mau dikirim?
Iya, sudah dibicarakan. Tidak masalah. Karena itu pesawat baru.
Ini ada cerita bahwa kapal-kapal selam kita yang dibeli dari Korea Selatan dll tidak bisa nyelam? kapal Selam tidak bisa nyelam, Bapak pernah dengar itu?
Ya dengar sekali. Jadi saya sudah diskusi memang kapal selam yang sekarang ini kan dalam tahap pembangunan. Kemudian skill kita dan Daewoonya belum full 100 persen.
Kalau misalnya menyelam pada kedalaman yang tidak terlalu dalam masih bisa. Tetapi kalau mungkin ke dalam kemudian nanti di dalam menembakkan peluru dan sebagainya itu teknologinya memang perlu peningkatan. Dan terus dilakukan sebuah upaya para pakar kita dan ahli teknologi kita dan bekerjasama dengan Korea.
Kalau boleh jujur, kapal selam kita itu memenuhi syarat bertempur di lautan nggak sih Pak? Kan tadi kalau ke dalaman tertentu dia tidak mampu?
Begini, desain kapal itu memang untuk bertempur di tempat yang lebih dalam cocok untuk perairan Indonesia. Kalau kelas Scorpène memang di perairan yang menengah tetapi itu lebih canggi.
Tinggal kita sekarang untuk menuju ke kelas yang lebih Hick-Tech emang perlu kita belajar yang memang dasar dasarnya dulu kapal selam.
Jangan kemudian kita mampu membuat sebuah kapal selam yang canggih kemudian kapal selam nuklir belum sampai ilmunya kita.
Tetapi kita harus memulai sesuai dengan Undang-undang Industri Pertahanan nomor 16 tahun 2012 itu memang kita sedang menuju ke sana. Yang penting begini ketiga misalnya kita di dalam melakukan upaya upaya membuat perlengkapan alat sampul kita alusista kita supaya kita 20 sampai 30 tahun ke depan mampu membuat sendiri seluruh alusista kita mungkin ada hambatan-hambatan.
Jangan sempat sampai putus asa 'oh ini tidak bagus' pindah lagi lalu kapan selesainya. Itu menurut hemat saya. Jadi kita harus terus mengembangkan kemampuan kita sendiri dan belajar meningkatkan. Jangan cepat putus asa ketika ada kita mau buat ini ada hambatan sudahlah kalau gitu kerjasama dengan yang lain dan sebagainya itu biayanya juga tidak sedikit kalau tiba tiba ganti begitu.
Ini ada semacam pengetahuan begitu ya, bahwa ketika kita membeli alusista di negara-negara barat, itu syaratnya ribet banget. Harus ini dan itu, jadi kita harus ikut mereka dan kepentingan politisnya tinggi ketimbang negara-negara di luar negara barat. Sepengetahuan Bapak benar tidak?
Jadi begini, dulu kita sebelum ada Undang-undang tentang Industri Pertahanan itu kita membeli pesawat ketika kita ada masalah di dalam negeri pesawat itu tidak boleh, diembargo.
Ketika kita membeli tank, lalu ada masalah di Aceh, tank itu diembargo tidak boleh dipakai, padahal beli pakai duit kita sendiri, tidak hutang. Kenapa kok tidak boleh dipakai. Selalu ada buah pemikiran pemikiran dan lahir lah Undang-undang Nomor 16 tahun 2012 itu bahwa pada suatu saat setelah 30 atau 40 tahun Indonesia harus mampu berdiri sendiri membuat seluruh alusista dalam negeri secara bertahap.
Lalu ketika misalnya membeli pesawat dari mana dari mana harus ada kerjasama dengan industri pertahanan di dalam negeri.
Misalnya membeli pesawat bekerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia, beli tank bekerja sama dengan Pindad, membeli Kapal bekerja sama dengan PT PAL. Dan dari situ ada persyaratan persyaratan ada transfer of teknologi dan lain sebagainya. Sehingga ketika memproduksi setelah sekian tahun menjadi produksi murni putra-putri Indonesia clear.
Jadi siapa pun yang memimpin negeri ini program ini harus bisa dijalankan.
Tetapi negara-negara barat mau tidak disuruh begitu itu, teknologi?
Ini juga mereka menilai urusan urusan ekonomi. Pada umumnya bersedia misalnya saya contoh kan ketika kita mau membeli Pesawat Super Tucano, mereka mau oke kita bisa beli bikin pesawat tempur bareng dengan Brazil. Mereka minta persyaratan dari Indonesia kita setuju tetapi Brazil minta persyaratan nya oke minimal Indonesia beli dong dua Skuadron atau tiga Skuadron. Itu masuk akal lah.
Tetapi Indonesia tidak mau, jadi beli satu Skuadron akhirnya tidak bisa diteruskan. Coba kalau membelinya dua Skuadron ahli teknologi full kita sudah bisa membuat pesawat tempur sendiri. Nah itulah kendalanya.
Jadi jangan membeli pesawat atau alusista itu jangan hanya karena selera para pemimpin saja. Harus selera nasional sesuai aturan perundang-undangan
Pak TB, benar tidak sih dalam proses pemberlian alusista ini cashbacknya itu gila-gilaan?
Sulit dibuktikan, saya tidak mau seuzon. Tapi Misalnya begini ambil contoh saja membeli pesawat Qatar, Mirage, Itukan pesawat tua okelah kita tahu harus sudah kakek-kakek harus kita beli ya sudah, Itu pesawat Qatar itu dipakai oleh tentara udara Qatar, milik negara Qatar, bukan sudah milik negara membuatnya asal.
Kemudian kalau mau dibeli oleh Indonesia kenapa tidak melalui G to G, negara dengan negara akan lebih murah loh. Artinya dari sana negara Qatar menunjuk perwakilannya dari diri Indonesia menuju perwakilannya membuat MOU, harganya akan lebih murah.
Mengapa harus ada pihak ketiga yang sekarang ini saya tidak mau menyebut PT apa, tetapi PT X lah kenapa harus, nah berarti ada keuntungan juga ke pihak ketiga. Terapi kalau G to G kan tidak ada pihak ketiga jadi saya yakin berdasarkan pengalaman akan lenlbih murah dan keuangan negara bisa diirit dan hemat.
Kedua, juga harus jelas kalau membeli pesawat lawas atau pesawat tua. Pesawat ini yang mau dibeli dari Qatar ini kira-kira lifetime nya itu 10 tahun lalu kita tanya ini suku cadangnya dan maintenance nya tanggung jawab Qatar berapa tahun. Konon hanya 3 tahun. Jadi dibeli waktu hidupnya 10 tahun tapi waktu pemeliharaan dan seluruhnya 3 tahun. 7 tahun lagi kemana. Tidak bisa (ke pabrikannya).
Nah makannya tidak G to G. Kalau G to G bisa dialihkan okelah kita beli dari pabrikannya dan sebagainya. 3 tahun selesai, nah yang 7 tahun siapa yang memelihara, harus jelas itu duit besar loh. (Tribun Network/yuda).