PBHI Sebut Syarat Threshold Mengebiri Hak Rakyat untuk Dipilih
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyoroti perihal diskriminasi atas hak politik warga negara.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyoroti perihal diskriminasi atas hak politik warga negara.
Ketua PBHI Julius Ibrani menilai syarat threshold atau ambang batas suara mengebiri hak rakyat untuk dipilih (hak dipilih).
"Bicara soal diskriminasi atas hak politik warga negara sejatinya bicara soal pengkebirian hak dipilih melalui threshold, baik parliamentary maupun presidential threshold," kata Julius, dalam keterangannya, Minggu (20/8/2023).
Terlebih, syarat ambang batas suara tersebut diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (Pemilu).
Baca juga: Formappi Temukan Data Caleg Pemilu 2024 yang Diumumkan KPU RI Tidak Sinkron
"Pengujian tersebut berujung pada kesimpulan bahwa ambang batas suara sebagai syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional," kata Julius.
"Dampaknya, tidak ada seorang warga negara pun yang punya hak dipilih untuk dapat mencalonkan diri di Pemilu sebagai wakil rakyat (DPR) atau Presiden tanpa melalui partai politik," sambungnya.
Baca juga: Survei Indikator: Jika Pemilu Digelar Hari Ini, Hanya 8 Parpol yang Lolos Ambang Batas Parlemen
Bahkan, Julius mengatakan, ambang batas suara ini juga memaksa partai politik "berkongkalikong suara" hingga praktik money politics.
"Tidak hanya itu, justru memaksa partai politik untuk berkongkalikong suara hingga transaksi money politic yang menyandera Presiden dengan proyek sebagai 'balas jasa' politik," jelasnya.