Praktik Politik Transaksional Masih Kental, Peneliti BRIN Soroti Masalah Desain Pemilu
Siti menilai, secara umum format pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) tidak menjanjikan melembaganya demokrasi.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengatakan, politik transaksional masih kental dalam penyelenggaraan Pemilu.
Terkait hal ini, ia kemudian menyoroti desain atau format penyelenggaraan Pemilu sebagai akar masalahnya.
Siti menilai, secara umum format pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) tidak menjanjikan melembaganya demokrasi.
Selain itu, lanjutnya, format Pemilu yang ada saat ini tidak melembagakan pemerintahan yang efektif dan sinergis serta bersih dari korupsi dan perangkap penyalahgunaan kekuasaan.
"Format Pemilu yang berlaku cenderung melembagakan pemerintahan hasil pemilu atau Pilkada yang tidak terkoreksi," kata Siti Zuhro, pada paparannya dalam webinar bertajuk "Mengawal Keselarasan Pilkada Serentak dengan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tahun 2024-2029" secara daring, Sabtu (26/8/2023).
Sehingga, kata Siti, hal ini menjadi latar belakang dari praktik politik transaksional yang masih kerap terjadi.
"Tidak mengherankan jika politik transaksional dalam pengertian negatif masih kental mewarnai relasi kekuasaan di antara berbagai aktor dan institusi demokrasi hasil Pilkada," ujarnya.
Hal tersebut juga, menurut Siti berkaitan dengan format penyelenggaraan Pilkada, yang dinilainya tidak menjanjikan tampilnya kepala daerah yang kapabel sekaligus akuntabel.
"Hampir tidak ada perdebatan serius tentang agenda calon kepala daerah bagi masa depan daerah dan tentang arah dan strategi kebijakan seperti apa yang ditawarkan para kandidat kepala daerah dalam memajukan daerahnya, memberdayakan masyarakatnya dan pengelolaan sumber-sumber atau potensi yang dimiliki daerah," jelas Siti.
Terlebih, menurutnya, orientasi kompetisi masih berkutat di perihal popularitas dan elektabilitas saja.
"Ini yang bikin lalu kualitas pemimpin kita menurun," ucapnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.