Karya Membelah Kabut di Festival Lima Gunung Bius Penonton, Angkat Isu Sosial dan Masyarakat
Festival Lima Gunung ramai, penampilan dari Solo Komunitas Teater Tari Mantra Gula Kelapa hadir membuka acara yang terjadwal di hari Sabtu, malam hari
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Festival Lima Gunung ke-22 bertema Kalis Ing Kahanan menjadi pertunjukan yang dinantikan masyarakat.
Tak hanya masyarakat di sekitar lokasi tempat terselenggaranya acara, di Grabag, Magelang, Jawa Tengah, namun juga masyarakat luas.
Banyak orang hadir baik hanya sekadar menonton atau mungkin ikut memeriahkan acara yang terselenggara pada 25-27 Agustus 2023.
Agenda yang terselenggara pada Sabtu (26/8/2023) kemarin sangat meriah dengan diisi penampilan beberapa kontingen dari Jakarta, Yogyakarta, hingga Solo.
Salah satu penampilan dari Solo, Komunitas Teater Tari Mantra Gula Kelapa hadir membuka acara yang terjadwal di hari Sabtu, malam hari.
Penampilan berjudul 'Membelah Kabut ini' unik bahkan membius penonton.
Baca juga: Sinergi Industri Musik dan Komunitas Teman Tuli Jadi Cara Band Jikustik Menyajikan Karya Seni
Bukan hanya soal apa bentuk karyanya saja, melainkan apa yang tersirat dalam sebuah penampilan itu.
Berangkat dari sebuah ide kecil, Seniman Fajar Satriadi mengolahnya menjadi sebuah karya yang apik dan syarat akan makna.
Fajar Satriadi terinspirasi dari sebuah fenomena ibu-ibu yang berangkat ke pasar di pagi buta dengan membawa tenggok.
Hal itu ia temui di jalanan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah atau Gunung Lawu.
"Sajian tadi ide dasarnya dari perjalanan saya ketika turun dari Tawangmangu, Gunung Lawu itu jam 2 pagi itu saya melihat ibu-ibu dengan tenggok dengan lampu sentir menuju ke pasar."
"Mereka berjalan diantara kabut, momen itu betul-betul menyentuh hati saya, kemudian di kepala saya berkecamuk banyak hal dahsyat sekali, yakni seorang ibu yang berjuang untuk hidupnya, mungkin juga untuk anak-anaknya, untuk keluarganya, nah itu yang kemudian saya menaruh begitu hormat dan cinta sama ibu-ibu itu, rasa hormat saya lalu saya aplikasikan, saya wujudkan dalam karya ini," ungkap Fajar Satriadi, Jumat (27/8/2023) malam.
Yang membuat unik, para penampil bukanlah murni berangkat dari dunia kesenian, melainkan masyarakat umum yang justru bukan seniman.
Meskipun beberapa dari mereka yang seniman.
Baca juga: Pelaku Seni dan Budaya Yogyakarta Mantap Dukung PAN
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.