Korban Pelanggaran HAM Berat 1965-1966 di Ceko: Kalau Jokowi Sudah Tidak Ada, Apa Ini Bisa Langgeng?
Keberhasilan kebijakan pemulihan korban pelanggaran HAM berat di era Presiden Jokowi tidak terlepas dari keberanian dan kekuatan politiknya.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Korban pelanggaran HAM berat masa lalu peristiwa 1965-1966 yang kini bermukim di Ceko, Karsidi, mempertanyakan keberlangsungan kebijakan pemulihan korban di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah Jokowi tidak lagi menjabat.
Namun di sisi lain, Karsidi juga mengakui keberhasilan kebijakan pemulihan korban pelanggaran HAM berat yang dilakukan di era Presiden Jokowi tidak terlepas dari keberanian dan kekuatan politiknya.
Hal tersebut disampaikannya saat dialog Menko Polhukam RI Mahfud MD dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dengan para korban pelanggaran HAM berat masa lalu peristiwa 1965-1966 eks Mahid di Praha Ceko pada Senin (28/8/2023) malam waktu Indonesia Bagian Barat.
Baca juga: Korban Pelanggaran HAM Berat 1965-1966 di Moskow Minta Tiket Pulang-Pergi ke Indonesia Difasilitasi
"Sekarang persoalannya, bagaimana nanti kalau Pak Jokowi udah nggak ada, kekuatan yang lain, kebetulan dia punya kekuatan tapi nggak punya keberanian, dan hal ini tetap sebagai non yudisial?" kata Karsidi.
"Jadi apakah ini bisa dipertahankan untuk apa yang bapak-bapak kerjakan sekarang ini, bisa langgeng untuk diteruskan selanjutnya?" sambung Karsidi yang tiba di Ceko dua hari sebelum peristiwa 30 September 1965 pecah di Indonesia itu.
Karsidi menilai keberhasilan yang diraih Presiden Jokowi dalam kebijakan pemulihan korban pelanggaran HAM berat juga tidak lepas dari kekuatan politik Jokowi di parlemen.
Keberhasilan tersebut, kata dia, tidak dicapai oleh presiden-presiden Republik Indonesia sebelum Jokowi.
"Sekarang berhasil karena Pak Jokowi di parlemen punya kekuatan yang cukup kuat. Kemudian bukan hanya kekuatan tapi juga keberanian dari Pak Jokowi untuk melangkah hal ini," kata dia.
Menanggapi hal tersebut, Menko Polhukam RI Mahfud MD menyatakan kebijakan tersebut akan terus langgeng.
Terkait hal itu, ia menjelaskan mengenai undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Ia pun menegaskan atas dasar undang-undang tersebut tidak boleh lagi ada kejadian serupa seperti dialami oleh para mantan Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) korban pelanggaran HAM berat masa lalu peristiwa 1965-1966.
"Kalau besok terjadi langgeng? Langgeng. Sudah ada undang-undangnya. Siapa saja yang melakukan pelanggaran HAM berat, kita sudah menyediakan pengadilan baru di Indonesia namanya pengadilan HAM berdasarkan UU nomor 26 tahun 2000. Tidak boleh terjadi lagi hal seperti ini," kata Mahfud.
Di sisi lain, Menkumham Yasonna Laoly juga meyakinkan kebijakan tersebut akan tetap dijalankan oleh pemerintahan berikutnya.
Menurut dia, pemerintah tidak akan dirugikan dengan kebijakan tersebut.
"Ini memang kebijakan pemerintah. Dan percayalah Pak, Pemerintahan berikutnya juga pasti mengikuti kebijakan ini," kata Yasonna.
"Tidak ada ruginya pemerintah soal itu. Hanya memberikan visa dan beberapa kebijakan yang hanya buat katakanlah 250 atau 300 paling banyak anak bangsa Indonesia," sambung dia.