Dugaan Bisnis Obat Ilegal di Pusaran Kasus Oknum Anggota TNI Aniaya Imam Masykur hingga Tewas
Kasus tewasnya Imam Masykur, pemuda asal Aceh yang dianiaya 3 oknum anggota TNI diduga berkaitan dengan obat-obatan ilegal.
Penulis: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus tewasnya Imam Masykur, pemuda asal Aceh yang dianiaya 3 oknum anggota TNI (salah satunya paspampres) diduga berkaitan dengan obat-obatan ilegal.
Polri tengah melakukan pendalaman terkait kasus dugaan peredaran obat-obatan ilegal di balik tewasnya Imam Masykur.
Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Hersadwi Rusdiyono menyebut pihaknya tengah berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) soal hal itu.
"Saat ini Direktorat Tipidter (Tindak Pidana Tertentu) bersama BPOM melaksanakan giat bersama dalam mengusut pelaku peredaran obat ilegal," kata Hersadwi saat dihubungi, Sabtu (2/9/2023).
Baca juga: Polri Dalami Kasus Dugaan Peredaran Obat Ilegal Buntut Tewasnya Imam Masykur di Tangan 3 Oknum TNI
Hersadwi belum memberikan informasi terkait penelusuran dan mengusut para pelaku bisnis obat ilegal di Indonesia.
Dia hanya menyebut jika peredaran obat keras dan bahan berbahaya akan ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri.
"Untuk data obat keras dan bahan berbahaya bisa ditanyakan ke Direktorat Tipidnarkoba," ujarnya.
Korban Diduga Pedagang Obat-obatan Ilegal
Hal senada diungkapkan Komandan Polisi Militer Kodam Jaya (Danpomdam Jaya) Kolonel CPM Irsyad Hamdie Bey Anwar, Selasa (29/8/2023) lalu.
Irsyad mengatakan tiga anggota TNI yang melakukan penculikan hingga penganiayaan terhadap Imam Masykur mengaku sebagai anggota polisi saat beraksi.
"Pelaku berpura-pura sebagai aparat kepolisian yang melakukan penangkapan terhadap korban karena korban diduga pedagang obat-obat ilegal (tramadol dan lain-lain)," kata Komandan Polisi Militer Kodam Jaya (Danpomdam Jaya) Kolonel CPM Irsyad Hamdie Bey Anwar, Selasa (29/8/2023).
Dalam pelaksanaannya, ketiga anggota tersebut tidak saling mengenal. Mereka menculik untuk nantinya meminta uang tebusan.
Baca juga: Prabowo Yakin Kasus Oknum Paspampres yang Diduga Tewaskan Imam Masykur Ditangani Sebaik-baiknya
Dalam hal ini, para tersangka sempat meminta uang tebusan hingga Rp 50 juta agar Imam bisa dibebaskan.
"Cuman pelaksanaannya mungkin kelewatan sehingga menyebabkan (korban) meninggal dunia," ucapnya.
Sejauh ini, total sudah ada enam orang tersangka yang ditangkap dan ditahan dalam kasus ini dengan rincian tiga orang anggota TNI dan tiga warga sipil.
Tiga tersangka dari anggota TNI yakni anggota Paspampres Praka RM, Satuan Direktorat Topografi TNI AD, Praka HS dan anggota Kodam Iskandar Muda, Praka J.
Sementara itu untuk tiga warga sipil yakni Zulhadi Satria Saputra alias MS yang merupakan kakak ipar Praka RM, AM dan H alias Heri sebagai penadah hasil kejahatan.
Identitas Pelaku
Diketahui Imam Masykur (25), pemuda asal Aceh meninggal dunia setelah dianiaya Praka RM, oknum anggota Paspampres dan dua anggota TNI lainnya.
Jasad Imam Masykur ditemukan warga di aliran Sungai Cibogo, Karawang, Jawa Barat pada Selasa (15/8/2023) sekitar 12.30 WIB.
Sebelum dianiaya, Imam Masykur diculik bersama temannya berinisial H.
Imam Masykur dan H lalu dibawa paksa para pelaku dari toko obat tempat mereka bekerja di Rempoa, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten pada 12 Agustus 2023.
Dia kemudian dianiaya dan dimintai uang Rp 30 juta agar bisa dibebaskan hingga akhirnya ditemukan tak bernyawa 3 hari kemudian.
Baca juga: LPSK Cari Keluarga Imam Masykur, Tawarkan Perlindungan di Kasus Oknum Paspampres Aniaya Pemuda Aceh
Saat ini Pomdam Jaya sudah mengamankan 3 oknum TNI yang terlibat penganiayaan serta pembunuhan Imam Masykur.
Ketiga oknum TNI pelaku penganiayaan Imam Masykur masing-masing berinisial Praka RM, Praka J, dan Praka HS.
Uang Koordinasi
Diketahui kasus penganiayaan ternyata tak hanya terjadi pada Imam Masykur.
Seorang warga Aceh lainnya yang juga pedagang obat-obatan di Jakarta berinisial ZF pernah menjadi korban Praka RM pada April 2023.
Dikutip dari Serambinews.com, ZF tak membantah bahwa kasus yang dialaminya berhubungan dengan bisnis obat Tramadol.
ZF mengaku saat itu juga menjual Tramadol, termasuk tiga orang lainnya yang ditangkap bersamanya.
"Satu orang lagi bukan, dia kalau tidak salah satpam di stasiun kereta api, orang Aceh juga. Dia dilepas dan tidak dipukul, tetapi uangnya semua habis dikuras," kata dia.
Meski penangkapannya itu terkait dengan bisnis Tramadol, tetapi ZF mengaku tidak tahu bagaimana hubungan Praka RM dan komplotannya dalam bisnis tersebut.
"Saat ditangkap itu, kami sudah menawarkan uang koordinasi yang akan diberikan rutin, tetapi dia tidak mau. Mereka hanya minta disediakan uang," tutur ZF.
Menurut ZF, komplotan Praka RM sudah sering datang menculik pedagang warga Aceh.
"Sudah sering mereka datang, cuma orang yang ditangkap mereka gilir."
"Kalau bulan ini misalnya kena toko saya, bulan depan mereka datang lagi menyasar toko sebelah," kata ZF.
Fenomena Bisnis Tramadol
Sementara itu Juru Bicara Partai Aceh Nurzahri mengatakan, selama ini cukup banyak anak-anak Aceh di perantauan di Pulau Jawa yang terlibat dalam jaringan bisnis obat tramadol.
Fenomena ini marak terjadi dalam kisaran 5 tahun ke belakang, ketika Partai Aceh telah kehilangan kekuasaan di eksekutif.
"Di mana program-program pembukaan lapangan pekerjaan dan program-program bantuan modal usaha telah dihilangkan oleh rezim yang berlawanan dengan Partai Aceh," ungkapnya kepada Serambinews.com, Jumat (1/9/2023).
Partai Aceh beranggapan bahwa fenomena kartel penjualan obat-obatan keras ini secara tidak langsung menjadi tanggung jawab presiden selaku Kepala Negara dan Pj Gubernur Aceh atas tidak berjalannya program pengurangan angka pengangguran di Aceh.
"Kenapa banyak putra Aceh yang terjebak dalam sistem kartel? Ini lebih kepada jebakan-jebakan jaringan premanisme yang pasti memiliki sistem rekruitmen untuk pemasaran obat-obat keras dengan memanfaatkan kondisi Aceh yang memang sangat sempit lapangan pekerjaannya," ungkap Nurzahri.
Mantan anggota DPRA ini menilai, praktik jual beli obat keras secara bebas di pasar adalah penyalahgunaan aturan serta pengawasan yang lemah di level pemerintah pusat.
Permasalahan tidak semuanya bermuara pada TNI dan Polri, tetapi juga pada tidak berjalannya lembaga negara seperti BP-POM sebagai otoritas pengawasan obat.
"Praktik penjualan obat keras seperti tramadol di kawasan kepulauan Jawa telah menunjukkan bahwa di sana peran dan fungsi BP-POM tidak berjalan efektif," ucapnya.
Bisa saja kondisi ini terjadi dan diperparah karena adanya sistem premanisme yang diback-up oleh oknum-oknum aparat baik dari institusi TNI maupun Polri.
Kasus penculikan dan penganiayaan Imam Masykur adalah fenomena gunung es yang pecah karena tindakan penganiayaan berlebihan yang menyebabkan kematian.
"Jika saja tidak ada kematian dan tidak tersebarnya video penyiksaan, pasti kasus ini tidak akan diketahui oleh publik. Masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak terekspose karena tidak adanya korban jiwa, tapi saya yakin kasusnya massif dan terstruktur," kata Nurzahri.
Sumber: (Serambi Indonesia/Masrizal Bin Zairi) (Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti/wik)