KPK Duga Lukas Enembe Bayar Sewa Jet Pribadi Pakai Anggaran Pemprov Papua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami aktivitas penyewaan jet pribadi oleh Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami aktivitas penyewaan jet pribadi oleh Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe.
KPK menduga Lukas Enembe menyewa jet pribadi, lalu membayar jasa sewa itu menggunakan anggaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.
Adapun yang membayar bukan Lukas langsung, melainkan Enembe memerintahkan Staf Honorer di Badan Penghubung Daerah Provinsi Papua bernama Richard Barends.
Richard Barends pun diperiksa tim penyidik KPK pada Kamis (31/8/2023) untuk mendalami temuan tersebut.
"Saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya perintah Tersangka LE (Lukas Enembe) membayar private jet untuk kepetingan pribadi menggunakan anggaran Pemprov Papua," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri, Senin (4/9/2023).
Richard Barends diperiksa kapasitasnya sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Lukas Enembe.
Sedianya penyidik KPK turut memeriksa dua saksi lainnya, yakni Gibrael Isaak selaku Presiden Direktur PT RDG dan Tina Sutinah selaku Direktur SOS Aviation.
Namun, kata Ali, keduanya memilih mangkir. KPK pun mengultimatum mereka berdua akan bersikap kooperatif.
"Kedua saksi tidak hadir dan tanpa konfirmasi. KPK ingatkan untuk hadir memenuhi panggilan Tim Penyidik sesuai dengan penjadwalan ulang yang segera dikirimkan," kata Ali.
Adapun Lukas Enembe merupakan terdakwa perkara dugaan suap dan gratifikasi.
Dia diduga menerima suap sebesar Rp45 miliar. Sedangkan untuk gratifikasinya, Lukas disinyalir menerima Rp1 miliar.
Dalam perjalanannya, KPK menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka pencucian uang.
Baca juga: Kronologi Lukas Enembe Dilarikan ke Rumah Sakit Usai Banting Mikrofon dan Berkata Kasar
Sejumlah aset Lukas telah disita KPK. Termasuk uang dalam pecahan rupiah dan mata uang asing dengan total puluhan miliar.