Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dinilai Tak Efektif Dorong Capaian EBT 2025, Revisi Permen PLTS Atap Perlu dikaji Ulang

PLTS Atap diharapkan sebagai salah satu program yang didorong untuk mengisi gap pencapaian target energi terbarukan sebesar 23% sampai tahun 2025.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
zoom-in Dinilai Tak Efektif Dorong Capaian EBT 2025, Revisi Permen PLTS Atap Perlu dikaji Ulang
tangkapan layar
Webinar bertema "Perubahan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021, Mampukah Mendorong Capaian Energi Baru Terbarukan di Indonesia?" yang diselenggarakan Orbit Indonesia, Rabu (6/9/2023). 

“Di sini amanatnya adalah dalam tiga bulan PLN wajib menyusun peta jalan dan kemudian setelahnya PLN wajib mengikuti yang dibuat dengan tujuan terbangunnya sistem PLTS atap. EBTKE sendiri sudah memiliki aplikasi dan sudah digunakan oleh wilus (wilayah usaha) dimana disitu bisa di track permohonan masyarakat”ujarnya.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN),  Herman Darnel Ibrahim, mengatakan  melihat revisi Permen PLTS Atap ini masih menyisakan masalah baru bagi para stakeholder.

Dia mencontohkan dengan tidak adanya ekspor listrik PLTS Atap ke PLN yang dihitung, walaupun kapasitasnya dibebaskan, daya tariknya bagi pelaku akan turun. Hal itu disebabkan  walaupun kapasitasnya bebas tapi tetap saja dibatasi menjadi sebanyak yang digunakan.

“Tentu hal ini tidak akan menggenjot (capaian target EBT Pemerintah). Padahal kalau kita mau meningkatkan bauran energi terbarukan, itu yang paling bisa diandalkan dengan cepat ya PLTS Atap ini, ujarnya .

Jadi, menurutnya, peraturan PLTS Atap ini harus benar-benar diuji dulu secara simulasi, apakah dengan peraturan ini serta-merta investasi di bidang PLTS Atap ini baik oleh industri dan bukan industri itu bisa menarik. 

“Jadi, sebenarnya perbaikan aturan PLTS Atap ini seharusnya dibuat dengan sungguh-sungguh kalau mau mengembangkan energi terbarukan khususnya energi Surya,” ujar mantan direktur Transmisi dan Distribusi PLN.

Herman menambahkan, sebetulnya peraturan yang diperlukan adalah harga tetap sama dengan 1 banding 1, jadi kalau ia membeli dari PLN misalnya harganya 1500 ya ekspornya dibayar 1500 juga.

Berita Rekomendasi

Tetapi yang perlu dibatasi adalah jumlah energi boleh diekspor.

“Jadi kalau dia bikin impor 300 dia konsumsi 400,  dia ekspor 100, dia bayarnya 200. Jadi ada penurunan pembayaran. Kalau tidak boleh ekspor berarti dia kan harus atur kapasitasnya, ya walaupun sebenarnya kapasitas tidak dibatasi itu seperti daya tarik semu gitu loh”.

Wishnu Try Utomo, Coal Advocacy Manager Center of Economic and Law Studies (Celios) yang juga menjadi narasumber di acara ini menyampaikan sepakat dengan apa yang disampaikan Herman dari DEN.

Dia juga tidak setuju dengan adanya penghapusan net metering.

Menurutnya, ekspor listrik dari PLTS Atap ke jaringan PLN itu harus bisa menjadi pengurangan tagihan.

Begitu juga dengan  waktu pengajuan ijin pemasangan. Menurutnya seharusnya tidak dibatasi hanya bulan Januari dan Juli saja. “Itu waktunya sedikit sekali. Saya juga rekomendasi untuk perlu studi lebih lanjut terkait revisi Permen PLTS Atap ini,” ucapnya.

Narasumber lainnya, Bambang Sumaryo, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan dan Regulasi, Teknologi, dan Pengembangan Industri Surya, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyampaikan masyarakat pada umumnya sangat picky (pemilih).

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas