Kapan Musim Hujan Tiba di Indonesia? Berikut Penjelasan BMKG
Kapan musim hujan tiba di Indonesia?, BMKG memprediksi puncak musim hujan di Indonesia akan terjadi pada Januari-Februari 2024.
Penulis: Muhammad Alvian Fakka
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Kapan musim hujan tiba di Indonesia? Berikut penjelasan BMKG.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim hujan di Indonesia akan terjadi pada Januari-Februari 2024.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan musim hujan akhir tahun 2023 sampai 2024 akan terjadi lebih lambat dibanding biasanya.
BMKG memprediksi awal musim hujan secara umum terjadi pada November 2023, namun akibat tinggi keragaman iklim maka musim hujan tidak terjadi serentak di Indonesia.
Dwikorita menerangkan, bahwa awal musim hujan umumnya berkait erat dengan peralihan Angin Timuran (Monsun Australia) menjadi Angin Baratan (Monsun Asia).
Namun, menurut prediksi BMKG Angin Timuran diprediksi masih tetap aktif hingga November 2023, utamanya di Indonesia bagian Selatan.
Baca juga: Cuaca Besok - BMKG: Waspada 13 Wilayah Diperkirakan Hujan Lebat pada Selasa, 12 September 2023
Sementara, Angin Baratan diprediksi akan datang lebih lambat dari normalnya.
Musim Hujan Terlambat Datang di Indonesia
Mengutip laman BMKG, curah hujan yang turun pada periode musim hujan 2023/2024 pada umumnya diprediksi akan normal dibandingkan biasanya.
Hal tersebut dipengaruhi oleh fenomena El Nino moderat yang masih berlangsung hingga Februari 2024 dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif bertahan hingga akhir tahun 2023.
Gangguan iklim El Nino terus berkembang mencapai level El Nino moderat sejak akhir Juli 2023 dan saat ini Indeks El Nino berada pada nilai +1.504.
Kondisi El Nino moderat tersebut diprediksi tetap bertahan hingga awal 2024.
Karena berdasarkan pemantuan anomali suhu muka laut di Samudera Hindia, menunjukkan adanya kondisi IOD Positif dengan indeks saat ini sebesar +1.527.
Fenomena ini diprediksi akan tetap positif hingga akhir tahun 2023.
Adanya fenomena El Nino dan IOD (+), menyebabkan pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia menjadi lebih sedikit dari normalnya, yang berkaitan dengan kondisi curah hujan rendah sebagai penyebab kekeringan di Indonesia.
Baca juga: BMKG Akselerasi Pengembangan SDM untuk Hadapi Perubahan Iklim Global dan Tektonik Kompleks
Mengenal El Nino dan IOD
Mengutip Instagram @infoBMKG, El Nino merupakan fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur.
Sementara IOD merupakan fenomena penyimpangan Suhu Muka Laut (SML) di Samudra Hindia.
Suhu Muka Laut dapat menyebabkan berubahnya pergerakan atmosfer atau pergerakan masa udara.
Dari pengamatan yang dilakukan BMKG, indeks El Nino pada Juli 2023 telah mencapai level moderate.
Sementara IOD sudah memasuki level index yang positif.
Saat kondiri IOD positif, suhu muka laut di Samudera Hindia bagian barat akan menghangat.
Kondisi IOD positif ini menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.
Sedangkan suhu muka laut di Samudra Hindia bagian timur mendingin.
Fenomena El Nino dan IOD Positif saling menguatkan sehingga membuat musim kemarau 2023 menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah.
Kondisi itu akan lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021, dan 2022.
Lantas apa dampak dari El Nino dan IOD yang melanda Indonesia?
Dari keterangan BMKG, ada dua jenis dampak yang terjadi akibat El Nino dan IOD yang melanda Indonesia.
Baca juga: Prakiraan Cuaca BMKG Jawa Barat Selasa, 12 September 2023: Tasikmalaya Cerah Berawan, Sukabumi Hujan
Dampak positif dari fenomena ini yaitu:
- Potensi panen garam meningkat
- Potensi tangkapan ikan meningkat
- Meningkatnya produksi padi pada lahan rawa lebak.
Adapun dampak negatif dari fenomena El Nino dan IOD di Indonesia:
- Kekeringan sumber daya air bersih
- Potensi gagal panen
- Meningkatkan risiko kebakaran hutan
Baca juga: BMKG Prediksi Musim Hujan Terjadi pada November 2023, Beberapa Daerah Berpotensi Banjir dan Longsor
Sepanjang musim kemarau ini, sektor pertanian akan dapat terdampak.
Terutama pada lahan pertanian tadah hujan yang masih menggunakan sistem pertanian tradisional.
Selain itu, kondisi kekeringan ini juga dapat berujung kepada bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Jika tidak terkendali dapat menimbulkan krisis kabut asap yang berdampak pada kualitas lingkungan, ekonomi, sosial, hingga kesehatan masyarakat.
Pihak BMKG juga mengingatkan agar masyarakat dapat berkontribusi mulai menghemat air setiap harinya.
(Tribunnews.com/Muhammad Alvian Fakka)