Panglima TNI Kerahkan Satgas Polisi Militer, Dampingi Prajurit yang Bertugas di Pulau Rempang
Ia mengatakan tidak ingin ada prajurit TNI yang melakukan provokasi ataupun memiliki lahan-lahan ilegal di Pulau Rempang tersebut.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengatakan pihaknya melalui Danpuspom TNI telah mengerahkan Satgas Polisi Militer TNI untuk mendampingi prajurit TNI yang bertugas di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Yudo mengatakan telah menyampaikan kepada Pangdam, Pangarmada, Danlantamal, dan Danrem di sana bahwa tugas prajurit TNI di Pulau Rempang adalah untuk melakukan perbantuan kepada Polri.
Ia mengatakan tidak ingin ada prajurit TNI yang melakukan provokasi ataupun memiliki lahan-lahan ilegal di Pulau Rempang tersebut.
"Sudah dari awal kita beri, sampaikan pada Pangdam maupun Pangarmada, Danlantamal, Danrem di sana bahwa TNI yang di sana sifatnya adalah perbantuan kepada Polri," kata Yudo di Mabes TNI Cilangkap Jakarta pada Selasa (12/9/2023).
"Kemarin kan sudah dilaksanakan, termasuk POM TNI juga kita turunkan jangan sampai ada prajurit TNI yang terlibat di sana. Terlibat mungkin, apa namanya, provokator, atau mungkin punya lahan-lahan yang tidak sah di sana. Kita beri imbauan. Dan kemarin sudah saya sampaikan Danpuspom juga sudah mengirimkan pasukan tim gabungan untuk Satgas POM TNI di sana," sambung dia.
Menteri Koordinator Bidang Polhukam Mahfud MD sebelumnya juga telah meminta aparat penegak hukum dan keamanan untuk hati hati dalam menangani kasus di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Hal itu disampaikan Mahfud usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Senin (11/9/2023).
"Oleh sebab itu saya berharap kepada aparat penegak hukum, aparat keamanan supaya berhati-hati menangani ini," kata dia.
Selain itu Mahfud juga minta aparat mensosialisasikan kesepakatan pada tanggal 6 September antara Pemda, pengembang, DPRD, dan masyarakat.
Ia mengatakan masalah hukum konflik lahan tersebut sebenarnya sudah selesai.
Pada tahun 2001-2002, kata dia, telah diputuskan adanya pengembangan kawasan wisata di pulau-pulau yang terlepas dari pulau induknya, salah satunya Pulau Rempang.
Pada 2004, kata dia, kemudian ditandatangani kesepakatan antara Pemda atau BP Batam dengan pengembang atau investor untuk mengembangkan pulau pulau tersebut.
Hanya saja, lanjut dia, sebelum kesepakatan tersebut dijalankan sudah dikeluarkan lagi izin-izin kepada pihak lain.
Izin-izin baru yang dikeluarkan sesudah MoU tersebut, kata Mahfud, kemudian dibatalkan semua oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pada saat pengembang yang sudah menjalin kesepakatan pada 2004 lalu tersebut akan memulai kegiatan, lanjut Mahfud, lahannya sudah digunakan oleh pihak lain.
"Nah ketika akan masuk, di situ sudah ada kegiatan, sudah ada penghuni lama dan seterusnya, dan seterusnya," kata dia.
Konflik tersebut kemudian terjadi karena adanya perintah pengosongan oleh pengembang yang akan memulai kegiatannya di wilayah tersebut.
"Nah di situ lalu terjadi perintah pengosongan karena tahun ini akan masuk kegiatan-kegiatan yang sudah diteken tahun 2004 sesuai dengan kebijakan tahun 2001, 2002," kata dia.
Pada akhirnya, kata Mahfud, dijalin lah kesepakatan antara Pengembang, Pemda, dan dan masyarakat pada 6 September kemarin. Kesepakatan tersebut yakni warga yang mendiami lahan tersebut direlokasi.
Setiap kepala keluarga diberi tanah 500 meter persegi dan dibangunkan rumah dengan ukuran (tipe) 45 sebesar Rp 120 juta setiap kepala keluarga.
"Besar lho itu, daerah terluar," katanya.
Selain direlokasi, setiap keluarga juga mendapatkan uang tunggu sebelum relokasi sebesar Rp 1.034.000. Lalu diberi uang sewa rumah sambil menunggu rumah yang dibangun, masing-masing Rp 1 juta.
Mahfud menambahkan relokasi 1200 kepala keluarga tersebut dilakukan ke tempat yang tidak jauh dari pantai.
"Nah semuanya sudah disepakati, rakyatnya sudah setuju dalam pertemuan tanggal 6 itu, yang hadir di situ rakyatnya sekitar 80 persen sudah setuju semua," katanya.
Permasalahannya kata Mahfud kesepakatan tersebut belum terinformasikan dengan baik kepada masyarakat. Ditambah lagi adanya provokasi kepada masyarakat. Provokator tersebut telah diamankan pihak kepolisian.
"Di situ sudah ada (kesepakatan) tanggal 6 September, lalu demonya meledak tanggal 7 sehingga ada 8 orang, 8 atau 7 tuh, yang sekarang diamankan karena diduga memprovokasi dan diduga tidak punya kepentingan dengan tempat itu," pungkasnya.
Presiden RI Joko Widodo juga telah mengatakan konflik di proyek pengembangan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau karena komunikasi kurang baik.
"Itu komunikasi kurang baik, saya kira kalau warga diajak bicara, diberikan solusi," kata dia saat kunjungan kerja di Pasar Kranggot Kota Cilegon pada Selasa (12/9/2023).
Menurutnya proyek pengembangan Rempang, Batam itu sudah ada kesepakatan antar pihak.
Namun karena adanya komunikasi yang kurang baik, kata dia, sehingga terjadi sebuah masalah.
"Karena di situ sebetulnya sudah ada kesepakatan bahwa warga akan diberi lahan 500 meter plus bangunannya tipe 45, tapi ini belum dikomunikasikan secara baik sehingga terjadi masalah," kata dia.
Atas insiden yang terjadi saat ini, pada proyek pengembangan Rempang, Batam, Kepulauan Riau Jokowi mengutus Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk ke Pulau Rempang, Batam.
"Nanti mungkin besok atau lusa menteri Bahlil akan ke sana memberikan penjelasan mengenai itu," tukasnya.