Kritisi Pembahasan RPP Kesehatan, Pakar Hukum: Jangan Kejar Target dan Tak Libatkan Publik
Sementara itu, pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Ali Rido memberikan beberapa catatan terkait penyusunan RPP Kesehatan.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang saat ini sedang berlangsung, dinilai terburu-buru tanpa memberi ruang partisipasi publik.
Pakar Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Fitriani Ahlan Sjarif menyoroti jika aspek partisipasi publik dalam proses penyusunan tak mendapat porsi cukup, maka pembuatan aturan tersebut bisa diragukan dan menimbulkan kontroversi.
"Harus dipertimbangkan efektivitas pembuatannya sehingga diharapkan tidak menimbulkan kontroversi ketika diberlakukan dan tidak diragukan penerimaannya oleh publik," kata Fitri, Jumat (6/10/2023).
Sementara itu, pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Ali Rido memberikan beberapa catatan terkait penyusunan RPP Kesehatan.
Menurutnya penyusunannya tak boleh dilakukan seperti mengejar target dan secara sembrono. Ia juga mengingatkan soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/2020 soal pemenuhan pelibatan seluruh entitas terdampak.
"Pertama, RPP Kesehatan tidak boleh disusun secara terburu-buru untuk mengejar target, dan tidak boleh sembrono. Kedua, kembali pada putusan MK Nomor 91/2020 untuk memenuhi meaningful participation atau melibatkan semua entitas yang akan terdampak dari hulu ke hilir. Semua pihak harus terlibat langsung untuk dimintakan pendapat," kata Ali.
Selain itu Ali juga menyebut perlunya pemisahan aturan yang bersifat dinamis seperti zat adiktif dalam RPP Kesehatan. Sebab hal itu akan mempermudah jika kedepan diperlukan revisi aturan tertentu.
Ia menyebut mengatur zat adiktif dalam RPP Kesehatan merupakan langkah yang tidak tepat.
Mestinya kata dia, RPP Kesehatan mengatur regulasi yang terkait langsung dengan transformasi kesehatan nasional, bukan pada tataran pendukungnya.
Maka dari itu, pasal-pasal yang tidak terkait langsung seperti pengaturan zat adiktif, mesti dikaji ulang posisinya dalam RPP Kesehatan.
“Ketika itu diatur secara terpisah, tentu lebih elastisitas jika nanti terjadi perubahan. Cukup mengubah satu saja misal PP terkait pengamanan zat adiktif. Yang terpenting kalau kita kembali pada putusan MK Nomor 91/2020 tentang meaningful particitpation maka perizinannya akan memenuhi syarat putusan tersebut,” pungkas Ali.