Sidang UU ITE Haris-Fatiah di MK, DPR Sebut Ada Perubahan Paradigma dalam KUHP Baru
Taufik mengatakan, KUHP juga menganut batasan-batasan yang tegas terkait dengan perlindungan kebebasan berpendapat dari masyarakat
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Erik S
"Kerusuhan itu juga merupakan suatu kondisi yang tidak dibuat-buat oleh kelompok tertentu, sehingga murni dari adanya penyiaran atau penyebarluasan berita bohong tersebut."
Lanjutnya, berita bohong juga harus dimaknai sebagai sebuah informasi yang memang oleh pembuat disengaja tidak sesuai dengan fakta, atau tidak pasti, atau tidak lengkap dan bukan dihasilkan dari sebuah penilaian, pendapat hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Baca juga: Fatia Tegaskan Dirinya Tak Membayar ataupun Dibayar Haris Azhar Terkait Podcast Lord Luhut
Taufik kemudian menjelaskan, sebagai hukum yang akan diberlakukan kemudian, KUHP Nasional telah mengonsolidasikan beberapa pasal-pasal yang perlu diperbaharui, melalui KUHP maupun UU lainnya.
"Melalui penghapusan maupun penataan ulang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, serta ketentuan pemidanaan mengakomodir asas Lex Certa (hukum harus jelas/tidak ambigu) dan Lex Stricta (hukum tidak boleh ditafsirkan secara analogi) serta pemenuhan keadilan. Sedangkan demikian, terdapat relevansi keberlakuan KUHP nasional dengan permohonan a quo," ucapnya.
Taufik berharap, dengan adanya perubahan paradigma KUHP Nasional yang menjadi politik hukum pidana Indonesia yang baru, MK melalui penafsiran konstitusionalnya dapat menyatakan hal tersebut sebagai panduan hukum bagi para aparat penegak hukum.
"Menyatakan bahwa politik hukum pidana dengan paradigma baru sebagaimana yang menjadi landasan KUHP Nasional ini selama masa transisi keberlakuan KUHP Baru agar menjadikannya sebagai pedoman, rujukan, dan panduan bagi aparat penegak hukum dan badan peradilan dalam menerapkan pasal-pasal pidana termasuk pasal-pasal yang menjadi objek pengujian in casu," terang Taufik.
Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji.
"Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)," demikian bunyi permohonan Para Pemohon, dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Senin (9/10/2023).
Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah.
"Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah," tulis MK.
Melalui petitum provisinya, para pemohon meminta agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon.
Selanjutnya, mereka juga memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim., sampai pengujian UU ITE di Mahkamah Konstitusi yang diajukan pemohon ini diputus MK.
Tak hanya itu, para pemohon juga meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Untuk diketahui, sebelumnya sidang mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah terkait gugatan ini digelar, pada Rabu (20/9/2023) lalu. Namun, Ketua MK Anwar Usman menyatakan sidang ditunda.
Hal itu dikarenakan, baik DPR dan Pemerintah menyatakan belum siap menyampaikan keterangannya masing-masing.