Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Syarat Jadi Hakim MK Digugat, Advokat Minta Larang Adanya Hubungan Keluarga dengan Presiden dan DPR

Ia meminta syarat calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ditambah, yaitu tidak memiliki hubungan keluarga dengan Presiden dan/atau Anggota DPR.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Syarat Jadi Hakim MK Digugat, Advokat Minta Larang Adanya Hubungan Keluarga dengan Presiden dan DPR
net
Ilustrasi palu hakim. Seorang advokat meminta syarat calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ditambah, yaitu tidak memiliki hubungan keluarga dengan Presiden dan/atau Anggota DPR. 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mochamad Adhi Tiawarman, seorang advokat yang mengajukan uji materiil Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (UU Mahkamah Konstitusi).

Adhi selaku Pemohon dalam uji materiil ini meminta syarat calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ditambah, yaitu tidak memiliki hubungan keluarga dengan Presiden dan/atau Anggota DPR.

Perkara ini teregister dengan nomor 131/PUU-XXI/2023. Pemohon menunjuk Muhammad Zen Al-Faqih selaku salah satu kuasa dalam permohonannya ini.

Dalam persidangan, Zen mengutip pendapat ahli hukum soal kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya karya dari Ketua MK Anwar Usman yang berjudul 'Independensi Kekuasaan Kehakiman Bentuk dan Relevansinya bagi Penegak Hukum dan Keadilan di Indonesia,'.

Menurut Zen, dalam karyanya tersebut Anwar Usman menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka dipersonifikasikan pada diri hakim yang melekat sifat bebas, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun dan oleh siapapun, kecuali dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundangan lainnya.

Lanjut Zen, Anwar menerangkan bahwa tegaknya hukum dan keadilan suatu kasus sangat bergantung dari situasi kebebasan yang dialami oleh hakim yang memutusnya.

Berita Rekomendasi

"Menurut pemohon, seorang Hakim Konstitusi harus terbebas dari hubungan keluarga, sedarah, atau semenda, sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan terhadap objectum litis atau objek yang diadili," kata Zen, dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (12/10/2023).

Sehingga, melalui petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonannya dengan menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU MK konstitusional bersyarat.

"Menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU MK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: i. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR’," ucap Zen membacakan petitum.

Bertugas sebagai majelis hakim konstitusi dalam sidang ini, yaitu Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.

Merespons permohonan Pemohon, Enny menyebut, pemohon harus menguraikan dalam permohonannya mengenai kerugian pemohon, apakah bersifat potensial atau aktual.

Menurut Enny, apabila kerugian pemohon bersifat potensial, maka ada kemungkinan bisa tidak terjadi. Sedangkan, jika kerugian pemohon bersifat aktual, maka hal ini dialami langsung oleh pemohon.

"Itu harus Anda uraikan, tetapi ini harus berkaitan, karena ini bicara soal syarat calon hakim MK. Anda cek dulu dari Pemohonnya itu. Kira-kira terkoneksi tidak dengan syarat yang ada di sini, sehingga memang ada anggapan kerugian di sini sekalipun potensial? Kalau tidak ada (kerugian) ya tidak bisa dilihat soal pokok (permohonan)-nya. Berhenti hanya di legal standing. Itu yang harus Anda perhatikan, memang belum diuraikan di sini baru cerita hal-hal di luar itu," terang Enny.

Kemudian, hakim Daniel meminta pemohon untuk menambahkan perbandingan dengan penerapannya di negara lain atau hasil-hasil penelitian.

Upaya tersebut, lanjut Daniel, dilakukan untuk memperkuat argumentasi dalam permohonannya.

Selanjutnya, Guntur mengingatkan pemohon bahwa Presiden dan DPR itu bukan pihak dalam pengujian UU di MK, namun sebagai pemberi keterangan.

"Kalau permohonan ini dikabulkan, Anda kan tidak mempersoalkan norma pasal 15 ayat (2) ini. Tetapi ingin menambahkan norma baru, ini juga perlu dielaborasi lagi karena kan kerugian konstitusional itu dengan berlakunya norma. Normanya ini yang mana nih? Karena kalau berlakunya norma ini sepertinya tidak ada kerugian konstitusional pemohon tetapi Anda ingin menambahkan norma," ucap Guntur.

Sementara itu, hakim Guntur memberikan pemohon waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya, dengan batas maksimal penyerahan berkas permohonan, Rabu (25/10) pukul 09.00 WIB mendatang.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas