BKKBN Evaluasi Program Penurunan Stunting di Wilayah Perbatasan, Pesisir, dan Rawan Pangan
BKKBN mengevaluasi program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) Terpadu Berbasis Wilayah Perbatasan, Pesisir, dan Rawan Pangan (P2R).
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Arif Fajar Nasucha
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengevaluasi program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) Terpadu Berbasis Wilayah Perbatasan, Pesisir, dan Rawan Pangan (P2R).
Program Officer Bidang Program dan Kegiatan Sekretariat PPS Dr. dr. Lucy Widasari, M. Si memaparkan, evaluasi sekaligus finalisasi itu ada di wilayah pesisir (Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat), perbatasan (Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat) dan rawan pangan (Kabupaten Rokan Hulu, Riau) periode Juni hingga Juli 2023.
Adapun tujuan umum kegiatan adalah untuk mengevaluasi implementasi percepatan atau mengetahui gambaran implementasi percepatan penurunan stunting di daerah P2R.
"Tujuan Khusus untuk mengetahui sejauh mana implementasinya, memberikan umpan balik dan memberikan rekomendasi bagi upaya percepatan penurunan stunting di wilayah P2R. Peserta (responden) daerah terdiri dari TPPS Kabupaten, TPPS kecamatan, TPPS desa, dan TPK dalam hal ini di lima desa," kata dia dalam kegiatan Monev tersebut di Jakarta pada Senin (16/10/2023).
Selanjutnya, laporan ini akan diselesaikan dalam bentuk buku pada awal November 2023.
Lucy berharap dari hasil monitoring evaluasi ini bisa memperbaiki pelaksanaan program stunting agar berkembang lebih baik.
Ditambahkan, Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN dr. Irma Ardiana, M.APS kegiatan ini memberi masukan yang luar biasa karena dalam pelaksanaan PPS banyak keterbatasan-keterbatasan.
Baca juga: Cita-cita Prabowo Jika Jadi Presiden, Ingin Berantas Kelaparan dan Stunting
Ia juga berharap program-program BKKBN bisa dikolaborasikan dengan program kementerian/lembaga lainnya seperti kegiatan dapur sehat atasi stunting di lapangan bisa di kolaborasikan dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dari Kementrian Kesehatan.
Nantinya rekomendasikan hasil monev dapat dijadikan sebagai landasan penetapan strategi kedepan dan pentingnya keterlibatan dari sektor-sektor terkait seperti para akademisi.
6 Masalah
Sementara itu Pakar Gizi Universitas Hasanuddin Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc, Sp. GK yang juga hadir memberikan masukan terkait monev ini mengungkapkan 6 poin permasalahan dalam monitoring dan evaluasi pada program percepatan penurunan stunting di Indonesia.
Pertama adalah Indikator yang tidak tepat.
Penggunaan indikator yang tidak tepat dapat menyebabkan ketidakakuratan dalam keberhasilan program, misalnya menggunakan indikator berat badan sebagai pengukuran langsung penurunan stunting, padahal stunting terkait dengan tinggi badan anak.
"Tidak hanya itu, sejak 2013 sampai sekarang, program yang kita andalkan untuk mengatasi terjadinya anemia itu adalah program tablet tambah darah (TTD). Namun walaupun berdasarkan profil kesehatan nasional tahun 2013-2016 cakupan TTD selalu 90 persen, pada tahun 2018 anemia tidak turun melainkan naik dari 30% menjadi 40% lebih, sehingga menjadi 1 diantara 2 ibu hamil di Indonesia ini menderita anemia. Ternyata cakupan yg 90% itu tablet yang dikonsumsi oleh ibu hamil dengan catatan ibu hamil baru ada gunanya mengonsumsi tablet tambah darah minimal 90 tablet, ternyata itu cuma 7,9%," kata Prof. Abdul Razak Thaha.