Sejak Anwar Usman Ikut Rapat, Tak hanya Belokkan Amar Putusan Hakim MK, Tapi Membalikkan 180 Derajat
Wakil Ketua MK Saldi Isra membeber sejumlah keganjilan keputusan yang diambil dalam rapat permusyawaratan hakim menjelang pengambilan keputusan MK.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNNEWS.COM JAKARTA - Sejak Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan hasil keputusan, kehadirannya tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan hakim MK.
Keterlibatan Anwar Usman dalam RPH juga membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan meski ditambah dengan embel-embel sebagian sehingga menjadi mengabulkan sebagian.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra tentang keanehan keputusan sidang MK yang dibacakan Senin, 16 Oktober 2023 kemarin.
Para hakim MK lantas menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 19 September 2023 untuk memutuskan 3 perkara gugatan.
RPH dihadiri oleh delapan hakim konstitusi, yaitu, Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah.
“RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman,” ujar hakim Saldi Isra.
Dalam putusannya yang dibacakan Senin kemarin, MK mengabulkan gugatan uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun, dalam perkara ini, empat hakim menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion, salah satunya hakim Saldi Isra. Saldi tak setuju MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
“Menimbang bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menasbihkan makna baru atas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, saya, Hakim Konstitusi Saldi Isra, memiliki pendapat atau pandangan berbeda atau dissenting opinion,” kata Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Baca juga: Hakim Konstitusi Saldi Isra: Saya Khawatir Kepercayaan Publik Runtuh
Saldi Isra mengungkap, secara keseluruhan, terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Dari belasan perkara itu, hanya perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli.
Ada total tujuh gugatan yang disidangkan MK terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Menjelang sidang putusan, hakim konstitusi bakal melakukan rapar permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan hasil keputusan.
Hakim konstitusi Saldi Isra mengungkapkan ada hal yang berbeda dalam RPH memutus perkara usia capres cawapres itu.
Baca juga: Saldi Isra: MK Kabulkan Gugatan yang Sebenarnya Secara Tekstual Tak Dimohonkan Pemohon
Ketika RPH untuk memutus Perkara Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023, enam dari dari delapan hakim konstitusi yang hadir dalam RPH, minus Hakim Anwar Usman, sepakat menolak permohonan dan dan tetap memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau opened legal policy pembentuk undang-undang.
“Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya memilih sikap berbeda sepakat menolak permohonan dan tetap memposisikan Pasal 109 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang,” jelas Saldi dalam ruang sidang MK, Jakarta, Senin (10/6/2023).
Dalam RPH berikutnya masih berkenaan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, pembahasan dan pengambilan putusan permohonan gelombang kedua, in casu Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU- XXI 2023, sembilan hakim hadir secara lengkap.
Namun beberapa hakim yang dalam RPH Perkara Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 telah memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Padahal, model alternatif yang dimohonkan oleh pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023.
Dalam hal secara faktual, jelas Saldi, perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90, 91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan.
“Tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan meski ditambah dengan embel-embel sebagian sehingga menjadi mengabulkan sebagian,” pungkasnya.
Sebagai informasi, dari semua gugatan yang dibacakan hari ini soal usia minimal capres cawapres, hanya ada satu putusan yang dikabulkan sebagian oleh MK, yakni Perkaran Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dengan dikabulkannya gugatan ini syarat usia minimal capres cawapres berubah. Dari yang semula minimal 40 tahun kini menjadi usia minimal 40 tahun atau kepala daerah yang sudah berpengalaman.
Berarti sangat dimungkinkan orang di bawah 40 tahun dapat maju sebagai capres atau cawapres asalkan ia sudah berpengalaman menjadi kepala daerah.