Menilik Ekosistem Lingkungan di Kawasan Pertambangan Nikel Pulau Obi
Harita Nickel dikenal peduli dengan kelestarian alam mulai dari proses industri ramah lingkungan hingga limbah di kawasan tambang & Maluku Utara.
Penulis: Yosephin Pasaribu
Editor: Anniza Kemala
TRIBUNNEWS.COM - Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi sumber daya alam dan kemaritiman yang sangat besar. Adapun kekayaan alam tersebut meliputi hutan tropis, laut yang kaya akan organisme laut, keanekaragaman hayati, serta tambang dan energi yang melimpah.
Sebab itulah Indonesia terus-menerus menjadi sorotan global berkat kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. Tak ayal, banyak negara yang mengimpor hasil alam Nusantara ke negara mereka.
Belakangan ini, nikel menjadi komoditas pertambangan Tanah Air yang tengah diminati banyak pihak. Pasalnya, unsur logam yang satu ini menjadi komponen penting dalam proses produksi kendaraan listrik. Hal ini tentu membuka kesempatan bagi Indonesia sebagai pionir dalam pengembangan elektrifikasi kendaraan bermotor.
Namun, muncul beberapa kontradiksi terkait penambangan nikel yang berjalan di wilayah timur Indonesia, seperti dugaan adanya kerusakan lingkungan pada kawasan tambang dan sekitarnya.
Baca juga: Bersama Putera Bangsa, Membangun Hilirisasi Nikel di Pulau Obi
Untuk membuktikan hal ini, tim redaksi Tribunnews telah mengunjungi salah satu pabrik peleburan bijih nikel (smelter) yang beroperasi di wilayah Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Dalam penelusuran kami, pabrik yang dibangun oleh PT Trimegah Bangun Persada Tbk (TBP) atau akrab dikenal Harita Nickel ini, konsisten dalam menjalankan proses industri ramah lingkungan guna menjaga kelestarian alam di kawasan tambang dan Maluku Utara.
Menurut Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara, Yusra Hi Noho, Harita Nickel merupakan salah satu perusahaan terbaik dalam menjalankan proses pengelolaan lingkungan di Maluku Utara.
Yusra mengungkapkan, Harita Nickel sedang menggencarkan beberapa program pengelolaan lingkungan seperti rehabilitasi mangrove seluas 23 hektar, penanaman 47 ribu bibit mangrove di 4 lokasi yang tersebar dalam 2 pulau di Halmahera Selatan, Maluku Utara, serta melakukan penanaman terumbu karang buatan yang bahan bakunya memanfaatkan bahan campuran slag nikel.
Baca juga: Hilirisasi Nikel di Pulau Obi: Manfaat dan Potensinya bagi Indonesia
Lebih lagi, ia juga mengapresiasi kinerja dan inovasi Harita Nickel dalam menjaga kualitas air dan kualitas udara di sekitar kawasan industri. Hal ini terbukti dari parameter kualitas udara dan kualitas air yang masih konsisten berada di bawah baku mutu lingkungan hidup.
Senada dengan pernyataan tersebut, Ahli Planktonologi Laut, Prof. Dr. Ir. Inneke F. M. Rumengan, juga menyatakan bahwa kondisi ekologis laut di Pulau Obi cukup stabil dan tidak mendapat tekanan anthropogenic yang termasuk aktivitas tambang. Hal ini tentunya memengaruhi kondisi perikanan dan kondisi ekonomi nelayan yang dinilai masih cukup memadai.
Hal serupa juga disampaikan oleh pegiat lingkungan Maluku Utara, Usman Mansur, yang menganggap bahwa Harita Nickel merupakan perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungan. Selain itu, menurutnya Harita Nickel juga memainkan peran dalam membantu sektor pendidikan dan perekonomian masyarakat di sekitar Pulau Obi.
Baca juga: Menelisik Kiprah Hilirisasi Nikel Indonesia di Pulau Obi
Setelah menelusuri lebih dalam terkait pengelolaan lingkungan yang dijalankan Harita Group, tim redaksi Tribunnews menemukan inovasi lain yang dihasilkan oleh perusahaan pengolahan tambang ini. Salah satunya adalah pembuatan batu bata yang terbuat dari sisa hasil pengolahan nikel dengan teknologi pirometalurgi.
Lalu, bagaimana dengan limbah yang dibuat menggunakan teknologi hidrometalurgi? Apakah benar limbah tersebut dibuang ke laut?
Mari temukan jawabannya dalam video “Ekspedisi Hilirisasi Anak Bangsa” episode “Dedikasi untuk Lingkungan” di YouTube Tribunnews berikut ini.