Aliran Uang ke Menpora Dito Ariotedjo dan Komisi I Jadi Pertimbangan Hakim di Vonis Johnny Plate dkk
Majelis Hakim memasukkan aliran uang yang diterima sejumlah pihak sebagai pertimbangan dalam putusan kasus korupsi pengadaan tower BTS BAKTI Kominfo.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memasukkan aliran uang yang diterima sejumlah pihak sebagai pertimbangan dalam putusan kasus korupsi pengadaan tower BTS 4G BAKTI Kominfo.
Termasuk di antaranya, aliran ke Menpora Dito Ariotedjo dan Komisi I DPR.
Kepada Dito Ariotedjo, Majelis mempertimbangkan fakta persidangan adanya penyerahan Rp 27 miliar oleh Irwan Hermawan, kawan eks Dirut BAKTI Anang Achmad Latif.
"Bahwa pada November-Desember 2022 bertempat di rumah Dito Ariotedjo, Irwan Hermawan menyerahkan uang kepada Dito Ariotwdjo sebesar 27 miliar rupiah," ujar Hakim Ketua, Fahzal Hendri dalam sidang pembacaan putusan eks Menkominfo Johnny G Plate dkk, Rabu (10/11/2023).
Uang itu diserahkan dalam rangka menghentikan proses penegakan hukum proyek BTS yang saat itu mulai ditangani Kejaksaan Agung.
Namun dalam pertimbangan yang dibacakan, Majelis tak mengungkap siapa orang di balik Dito Ariotedjo untuk pengamanan perkara BTS ini.
Termasuk sosok Haji Onny yang namanya disangkut-pautkan dengan Dito Ariotedjo dalam fakta persidangan sebelumnya.
"Untuk tujuan menghentikan proses penegakan hukum terhadap proyek pembangunan BTS 4G tahun 2021-2022," kata Hakim Fahzal.
Sedangkan untuk Komisi I DPR, Majelis Hakim mengakui adanya penyerahan Rp 70 miliar melalui perantara bernama Nistra Yohan.
Sosok Nistra sendiri hingga kini masih diburu Kejaksaan Agung.
Baca juga: Hakim Akui Johnny G Plate Untung Rp 15 Miliar dari Korupsi Proyek Tower BTS 4G BAKTI Kominfo
Menurut Hakim dalam pertimbangannya, uang Rp 70 miliar diterima Nistra Yohan dari kurir bernama Windi Purnama, kawan Anang Achmad Latif.
"Bahwa pada pertengahan 2022, bertempat di sebuah hotel Sentul Bogor, Windi Purnama menyerahkan uang kepada Nistra Yohan, staf ahli Anggota Komisi I DPR RI sebesar 70 miliar rupiah," kata Hakim Fahzal.
Sama seperti Dito Ariotedjo, uang ke Nistra juga diperuntukkan mengamankan proses penegakan hukum proyek BTS 4G BAKTI Kominfo.
"Dengan maksud untuk dapat menghentikan proses penegakan hukum dari proyek pembangunan BTS 4G tahun 2021-2022," katanya.
Untuk informasi, Dito Ariotedjo dan Nistra Yohan merupakan pihak penerima yang hingga kini belum ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Dalam perkara ini, seluruh pihak yang namanya muncul di persidangan menerima uang, sudah ditetapkan tersangka.
Aliran dana ke pihak-pihak tersebut juga dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam putusan perkara ini.
Pertama, Majelis mengakui adanya aliran uang hingga Rp 10 miliar kepada eks Menkominfo, Johnny G Plate.
Kemudian dalam putusannya, Majelis mempertimbangkan adanya aliran uang ke Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui perantara bernama Sadikin Rusli.
"Bahwa pada pertengahan tahun 2022 bertempat di Grand Hyatt Jakarta, Windi Purnama menyerahkan uang kepada Sadikin sebesar 40 miliar rupiah," kata Hakim Fahzal.
Lalu ada uang Rp 15 miliar kepada pengusaha Edward Hutahaean yang belakangan diketahui merupakan makelar kasus.
Namun karena Edward tak berhasil menghentikan kasus, selanjutnya ada Rp 66 miliar diserahkan kepada bos nikel, Windu Aji Susanto dan pengacara Setyo.
"Bahwa Oktober 2022 bertempat di kantor Windi, Irwan Hermawan menyerahkan uang kepada Windu Aji Susanto dan Setyo sebesar 66 miliar. Tujuannya untuk menghentikan proses penegakan hukum terhadap proyek pembangunan BTS 4G tahun 2021-2022," ujar Hakim Fahzal.
Terakhir, uang Rp 5 miliar diyakini Hakim mengalir ke eks Dirut BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif.
Uang tersebut diterimanya dua tahap, masing-masing Rp 2 miliar dan Rp 3 miliar
"Bahwa pada kurun waktu tahun 2022 terhadap Anang Achmad Latif telah menerima uang sebesar 2 miliar rupiah dari Jemy Sutjiawan dan 3 miliar rupiah dari Irwan Hermawan."
Dalam perkara ini, eks Menkominfo Johnny G Plate telah divonis 15 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 5 bulan penjara dan uang pengganti Rp 15,5 miliar.
Kemudian eks Dirut BAKTI Kominfo Anang Achmad Latif telah divonis 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan penjara, dan uang pengganti Rp 5 miliar
Adapun Tenaga Ahli HUDEV UI Yohan Suryanto divonis 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsidair 3 bulan penjara, dan uang pengganti Rp 400 juta.
Ketiganya dianggap jaksa penuntut umum terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Khusus Anang Latif, dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.