Pengamat Politik Sebut Aksi Protes Mahasiswa di Yogya Bentuk Koreksi Perilaku Elite
Analis politik dari Universitas Krisnadwipayana, Ade Reza Hariyadi angkat bicara terkai aksi protes sejumlah elemen mahasiswa di Yogyakarta.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis politik dari Universitas Krisnadwipayana, Ade Reza Hariyadi angkat bicara terkai aksi protes sejumlah elemen mahasiswa di Yogyakarta.
Dirinya menilai aksi kelompok mahasiswa mulai gerah dengan manuver-manuver politik penguasa.
"Ini menjadi kegelisahan anak-anak muda terdidik dan juga sebagai bentuk koreksi terhadap perilaku para elite yang memperebutkan kekuasaan ini keluar dari pakem-pakem yang ditentukan dalam konstitusi," kata Ade kepada wartawan, Selasa (28/11/2023).
Selain di kawasan Tugu Yogyakarta, aksi unjuk rasa juga digelar di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya.
Khusus di ISI, mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar mimbar demokrasi bertajuk 'Mahasiswa Bersama Rakyat Tolak Politik Dinasti dan Pelanggar HAM'.
Sebagian mahasiswa terlihat menutupi wajah mereka dengan topeng kertas bergambar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang disilang merah.
Pemakaian topeng-topeng itu dimaksudkan untuk mengkritik skandal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PPU-XXI/2023.
Putusan nomor 90 diketok Ketua MK Anwar Usman, Oktober lalu.
Isi putusan merevisi syarat usia bagi calon capres-cawapres yang tertuang dalam UU Pemilu.
MK membolehkan calon yang belum berusia 40 tahun untuk berkompetisi menjadi capres dan cawapres asalkan pernah dipilih jadi kepala daerah.
Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi mendadak memenuhi syarat sebagai cawapres.
Saat putusan itu dirilis, Gibran masih berusia 36 tahun.
Anwar ialah besan Jokowi alias paman Gibran.
Ade mengapresiasi sikap kritis kelompok mahasiswa di Yogya.
Namun, ia pesimistis gelombang protes bakal membesar.
Pasalnya, isu politik dinasti Jokowi dan skandal putusan MK merupakan konsumsi elite yang tidak terkait langsung dengan kehidupan masyarakat.
Untuk menjaga nafas gerakan, Ade menyarankan agar kelompok mahasiswa berkolaborasi dengan kaum buruh.
Saat ini, serikat-serikat buruh sedang resah dengan aturan kenaikan upah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan.
PP itu dianggap tak mengakomodasi kepentingan kaum buruh.
Pasalnya, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang dimandatkan PP itu jauh dari ekspektasi kaum buruh, yakni kisaran 5-8 persen. Serikat buruh sebelumnya ingin agar upah buruh naik sekitar 15%.
"Sejauh ini, gerakan ini masih sangat parsial. Kalau (keresahan kaum buruh) ini bisa direspons dan diakselerasi kelompok-kelompok mahasiswa di berbagai wilayah, maka ini bisa jadi salah satu faktor akselerasi gerakan yang lebih besar," ucap Ade.
Dilaporkan, ribuan mahasiswa dari 35 kampus di Yogya turun ke jalan dalam aksi protes tersebut. Khusus di kawasan Tugu Yogyakarta, sebagian mahasiswa terlihat menggelar aksi unjuk rasa dengan mengenakan topeng Guy Fawkes atau topeng kelompok anonimus.
Koordinator mahasiswa dalam aksi di Tugu Yogyakarta, Ahmad Kholil menyebut penggunaan topeng anonimus merupakan simbolisasi perlawanan terhadap elite politik yang antidemokrasi.
Selain putusan MK, Kholil memaparkan sejumlah dosa elite politik yang perlahan-lahan membunuh demokrasi, mulai dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.
"Pemerintah tidak pernah merespons aksi mahasiswa dan masyarakat. Omnibus Law bagi kami melanggar konstitusi. Pelemahan KPK melanggar konstitusi dan putusan MK terkait batas usia itu juga melanggar konstitusi," ujar mahasiswa Universitas Gadjah Mada itu.