Pernyataan Ade Armando soal Politik Dinasti Timbulkan Polemik, Politikus PSI Itu Diminta Minta Maaf
Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana menilai Ade Armando perlu belajar sejarah lebih dalam sebelum berkomentar di medsos.
Editor: Muhammad Zulfikar
Apalagi, lanjut Huda, sebagai politisi mestinya lebih cermat berstatement, kecuali memang demikian sikap politiknya.
"Jika memang demikian sebagai sikap politik ya silakan masyarakat menilai, tetapi saya tetap menilai statement itu tidak pantas dan menunjukkan kebodohan," ucapnya.
"Dalam praktiknya, saya kebetulan hampir 10 tahun menjadi anggota DPRD di DIY justru menemukan sikap yang sangat demokratis dan egaliter dari Ngarsa Dalem," imbuhnya.
"Beliau mencontohkan sikap dan keteladanan sebagai pemimpin yang sangat berkelas, sangat egaliter dan demokratis. Sekali lagi saya minta pak Ade Armando minta maaf pada masyarakat Yogyakarta karena saya yakin banyak yang tersinggung, bukan hanya saya," sambung Huda Tri Yudiana.
Anggota DPR RI Dapil DIY Subardi mengatakan, pernyataan Ade Armando terkait DIY sebagai warisan politik dinasti tidak tepat.
Politisi Nasdem yang akrab disapa Mbah Bardi ini menjelaskan, ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 18B UUD 1945 yang berbunyi: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Bagi Subardi, pernyataan Ade merupakan ahistoris dan kedangkalan berpikir.
Tudingan tersebut dinilai berbahaya karena dapat menimbulkan aksi protes dari masyarakat Jogja.
“Dinasti politik di Jogja bentuk pengakuan konstitusi atas keistimewaan pemerintahan daerah yang bersifat khusus. Apa yang disampaikan Bung Ade adalah ahistoris dan berbahaya,” kata Subardi.
Baca juga: Penolakan Politik Dinasti Terus Bergulir, Keputusan MK Dinilai Upaya Mengakali Konstitusi
Selain pengakuan dari Konstitusi, Yogyakarta juga memiliki Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta yang turut mengakui berbagai keistimewaan Yogyakarta, termasuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak dipilih melalui kontestasi.
Menurut Subardi, aturan tersebut merupakan penghormatan bagi Yogyakarta atas perannya di masa Kemerdekaan.
“UU Keistimewaan bukan lahir begitu saja. Saya ingat perjuangan merancang undang-undang tersebut bersama seluruh elemen masyarakat. Ini adalah penghormatan Konstitusi kepada Yogyakarta dengan segala aspek historis dan sosiologisnya,” tambah Anggota DPD Wakil DIY pada periode 2004-2009 itu.
Yogyakarta memiliki peran strategis dalam sejarah kelahiran RI.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang kala itu sebagai Raja Yogyakarta mendukung sepenuhnya Indonesia sebagai Republik. Dukungan tersebut berupa dukungan teritori (sebagai ibu kota sementara) dan dukungan materi (finansial kerajaan yang disumbangkan untuk seluruh operasional negara).