Amnesty International Indonesia: 268 Pembela HAM Jadi Korban Serangan pada Tahun 2023
Jumlah pembela HAM yang menjadi korban tersebut, kata Usman, menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia merilis catatannya tentang serangan terhadap pembela HAM dalam konteks kebebasan sipil di ranah offline (luring).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan sepanjang tahun 2023 pihaknya mencatat terdapat 95 serangan yang ditujukan kepada pembela Hak Asasi Manusia (HAM).
Dari 95 serangan tersebut, kata dia, sebanyak 268 orang pembela HAM menjadi korban serangan.
Baca juga: Ganjar Sindir Jenderal yang Bela Prabowo soal Kasus HAM: Saudara yang Tidak Etis!
Hal tersebut disampaikannya pada Konferensi pers "Refleksi HAM 2023 Jelang Pelaksanaan Pemilu" di Kantor Amnesty International Indonesia Menteng Jakarta Pusat pada Rabu (31/1/2024).
"Untuk kebebasan sipil di ranah offline. Kita bisa lihat angkanya. Ini ada 95 serangan kepada pembela HAM dan jumlahnya tinggi sekali, ada 268 orang. Dan ini kalau dibandingkan tahun sebelumnya, yang 168 orang, itu berarti ada kenaikan besar, sekitar 63 persen," kata Usman.
Baca juga: Suciwati Soroti Mundurnya Demokrasi dan Penegakan HAM di Tanah Air
"Itu menjadi tahun yang tertinggi, itu tahun yang tersuram bagi orang-orang yang memperjuangkan HAM, lingkungan hidup, dan seterusnya," sambung dia.
Ia mengatakan sebanyak 128 orang di antaranya mengalami penangkapan sewenang-wenang, 96 orang mengalami intimidasi serangan fisik, dan 41 orang mengalami kriminalisasi.
Mereka yang menjadi sasaran paling banyak berasal dari kalangan aktivis yakni sebanyak 103 orang, jurnalis 89 orang, petani yang berkaitan dengan sengketa lahan atau konflik agraria 31 orang, dan masyarakat adat yang juga berhubungan dengan konflik agraria sebanyak 24 orang.
"Yang ingin kita tekankan ada banyak sekali kasus-kasus serangan terhadap pembela HAM itu terkait dengan kritik masyarakat terhadap pembangunan. Jadi penolakan masyarakat adat terhadap proyek tambang atau proyek strategis nasional di Maluku, Kalimantan, Papua," kata dia.
Jumlah pembela HAM yang menjadi korban tersebut, kata Usman, menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan catatan Amnesty, pada tahun 2019 terdapat 125 orang korban, pada 2020 sebanyak 235 orang korban, 2021 sebanyak 237, 2022 sebanyak 168 orang, dan 2023 sebanyak 268 orang.
"Tapi kalau kita pukul rata-rata dari 2019 tahun pertama Jokowi terpilih hingga tahun terakhir menjelang akhir pemerintahannya, kita melihat angka itu tidak pernah turun dari 100 orang menjadi korban. Artinya cukup tinggi," kata dia.
"Ini dengan threshold pembuktian evidencenya lebih ketat kalau di Amnesty, mungkin kalau kita bacanya Walhi, AMAN, KPA, JATAM, atau KontraS bisa lebih banyak dari ini. Jadi ini adalah data yang merupakan puncak dari gunung es dalam serangan fisik terhadap pembela HAM lingkungan, masyarakat adat di tanah air," sambung dia.
Pada tahun 2023, Amnesty mencatat serangan fisik terhadap pembela HAM didominasi penangkapan (128 korban), intimidasi dan serangan fisik (95 korban), kriminalisasi (41 korban), percobaan pembunuhan (3 korban), dan serangan terhadap lembaga pembela HAM.
Baca juga: AS akan Terus Bantu Israel, Senat AS Tolak Pembekuan Bantuan untuk Israel, Abaikan Urusan HAM
Menurut Usman, hal tersebut menempatkan kepolisian seperti menjadi alat pengaman untuk proyek pembangunan yang dilakukan tanpa konsultasi, dan tanpa partisipasi yang bermakna.
"Termasuk membiarkan intimidasi, atau bahkan terlibat intimidasi, atau ikut dalam memenjarakan orang-orang itu dengan tuduhan pencemaran nama baik atau tuduhan-tuduhan lain, bahkan ada yang mengalami ancaman percobaan pembunuhan," kata dia.
Dalam konteks kriminalisasi atau serangan terhadap kebebasan sipil, kata dia, kasus yang paling berulang adalah tuduhan-tuduhan makar di Maluku dan di Papua.
Terkait tuduhan makar, kata dia, tercatat setidaknya 86 orang di Papua dan di Maluku yang dikriminalisasi.
Setahun terakhir, paling tidak ada tiga aktivis Papua dan satu aktivis Maluku dipenjara dengan tuduhan makar.
Sementara itu, ketiga aktivis asal Papua masih menjalani sidang di PN Sorong, usai ditangkap pada 9 Juni
2023.
Aktivis asal Maluku telah divonis dua tahun penjara oleh PN Masohi pada 11 Desember 2023.
Sepanjang tahun 2020 sampao 2023 Amnesty mencatat setidaknya 86 orang di Papua dan di Maluku memghadapi dakwaan pidana dapam 32 kasus karena diduga melanggar pasal makar di KUHP.
"Ini sebetulnya pasal yang merupakan warisan dari era kolonial Belanda dan digunakan untuk membungkam perbedaan pandangan," kata dia.
Sedangkan pada aspek kebebasan sipil di ranah online (daring) yang mencakup serangan digital dan via penggunaan UU ITE, Amnesty mencatat situasi yang tidak jauh berbeda.
Amnesty mencatat serangan digital di dunia maya melalui peretasan dan doxxing terhadap pembela HAM.
Sepanjang tahun 2023, Amnesty mencatat 16 serangan dengan peretasan media massa yang meningkat dari sebelumnya yakni 8 kasus.
Selama lima tahun terakhir, Amnesty mencatat setidaknya 182 pembela HAM menjadi target serangan digital dalam 114 kasus, termasuk peretasan dan doxxing.
Selain serangan digital, Amnesty mencatat ada 49 serangan melalui penyalahgunaan UU ITE yang melanggar hak berekspresi selama 2023 dengan jumlah korban 55 orang, termasuk yang berlatar belakang pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan akademisi, menjadi tersangka pencemaran nama baik.
Amnesty juga mencatat terdapat 55 orang dilaporkan atas dugaan pelanggaran UU ITE sepanjang tahun 2023.
Para pelapor, berdasarkan data Amnesty, didominasi Polri (25 korban), masyarakat (11 korban), pemerintah daerah (7 korban), ormas (4 korban), perusahaan/pengusaha (3 korban), advokat (3 korban), DPR-RI/DPRD (1 korban), dan pemerintah pusat (1 korban).
Amnesty mencatat sepanjang 2019 sampai 2023 atau lima tahun terakhir, setidaknya ada 505 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE dengan total 536 korban.
Dalam refleksi Amnesty International Indonesia, kata Usman, satu dasawarsa terakhir bisa dikatakan sebagai dasawarsa yang gelap bagi penegakan HAM.
Tahun 2023 yang lalu, kata dia, adalah tahun yang suram bagi perlindungan kebebasan sipil dan juga perlindungan pembela hak asasi manusia.
Tahun yang suram tersebut, kata Usman, tergambar dari tingginya angka serangan terhadap para pembela hak asasi manusia yang bergerak di sektor lingkungan, korupsi, pembelaan perempuan, dan masyarakat adat.
Tahun lalu, kata dia, juga menandai akhir dari 10 tahun pemerintahan yang sekarang yang mencerminkan ketidakmampuan di dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Bahkan bukan hanya pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak bisa diselesaikan, tapi juga negara dan pemerintahan yang berkuasa ikut bertanggung jawab atas naiknya seorang terduga pelanggar HAM dalam pilpres mendatang, atau menjadi presiden mendatang," kata dia.
"Dan itu sebabnya Pak Marzuki (Mantan Jaksa Agung RI Marzuki Darusman) tadi memberi satu proyeksi besar, bahwa Pilpres ini akan menjadi satu momen yang sangat menentukan kejatuhan atau kebangkitan dari penegakan HAM," sambung dia.