Pengamat Hankam Connie Bakrie: Banyak Buzzer Politik Sudutkan Akademisi dengan Narasi 'Dibayar'
Connie Bakrie mengatakan, saat ini banyak buzzer politik yang menyudutkan akademisi dengan narasi yang 'dibayar'
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Choirul Arifin
"Ini yang disayangkan karena istilahnya kebebasan berekspresi, kebebasan sipil dalam menyatakan pendapat sangat diberangus di periode kedua ini," ungkap Daryono, dikutip dari Tribunnews.com, Jumat (22/10/2021).
Jokowi, kata Daryono, diketahui membuka pintu kritik selebar-lebarnya.
Namun yang terjadi di lapangan, berbanding terbalik dengan apa yang sering disampaikan Jokowi.
Mulai dari demo mendapat perlakuan kasar aparat, aksi masa yang mendapat banyak pertentangan, kemudian yang paling viral masalah mural juga mendapatkan pembungkaman.
Praktik Buzzer Politik di Lapangan
Pada kesempatan tersebut, Daryono juga menyoroti kehadiran buzzer di media sosial. Menurut Daryono, buzzer politik dapat merusak budaya demokrasi.
"Karena ketika ada orang yang kritis terhadap pemerintahan di medsos, itu langsung serangan kepada mereka luar biasa."
"Ini membuat budaya demokrasi kita turun ke titik nadir, ke titik terendah," ungkap Daryono.
Sehingga, sangat disayangkan orang yang kritis terhadap pemerintahan tidak mendapatkan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
"Kita sayangkan dalam konteks serangan digital pada orang yang kritis terhadap pemerintahan," terang Daryono.
Tak heran jika buzzer politik dianggap sebagai parasit dalam dunia demokrasi bagi masyarakat.
"Buzzer-buzzer politik menurut saya adalah parasit dalam dunia demokrasi," kata Daryono.
Moderasi Konten Online, Ada Celah Buat Buzzer Politik
Menanggapi tentang buzzer, peneliti independen tentang isu tata kelola internet, moderasi konten, dan perlindungan data pribadi Sherly Haristya mengatakan, tata kelola dan moderasi konten daring di Indonesia masih punya banyak tantangan.
Dengan masih adanya tantangan, banyak celah bagi buzzer atau pendengung politik untuk memanfaatkannya sebagai sarana kampanye yang tidak sehat.
Sebab, kata Sherly, para pendengung ini kerap menggunakan wilayah abu-abu di media sosial sebagai langkahnya.