Gegara Status ASN, Sanksi Berat Pegawai KPK Pelaku Pungli Hanya Minta Maaf
Dewas KPK memberi alasan mengapa hanya menjatuhkan sanksi berupa permintaan maaf kepada para pegawai yang terlibat pungutan liar (pungli) di Rutan KPK
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) memberi alasan mengapa hanya menjatuhkan sanksi berupa permintaan maaf kepada para pegawai yang terlibat pungutan liar (pungli).
Padahal sanksi yang diberikan termasuk dalam kategori berat.
Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menjelaskan bahwa perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menyebabkan pihaknya hanya bisa menjatuhkan sanksi terberat yakni berupa permintaan maaf.
Dijelaskan Tumpak, sanksi etik untuk ASN, dalam hal ini termasuk pegawai KPK per Juni 2021, yaitu berupa sanksi moral dalam hal ini permintaan maaf.
Berdasarkan tingkatannya, ada sanksi permintaan maaf secara tertutup (ringan), terbuka tidak langsung (sedang), dan terbuka langsung (berat).
"Jadi jangan salahkan Dewas, karena sudah berubah. Begitulah kalau ASN. Dulu memang tidak, dulu kalau kita belum ASN, Dewas pernah berhentikan. Apa itu sudah pernah? Pernah. Sebelum Juni 2021, tetapi apa mau dikata sekarang," ujar Tumpak dikutip dari tayangan YouTube KPK RI, Jumat (16/2/2024).
Tumpak mengakui bahwa sanksi moral permintaan maaf secara terbuka kurang kuat dalam memberikan efek jera kepada para pelaku.
Menurutnya, efek jera kemungkinan akan timbul setelah pegawai KPK mendapatkan sanksi atas pelanggaran disiplin oleh pihak Inspektorat atau Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK.
“Ya kalau memang sekadar permintaan maaf saya mungkin juga sepakat dengan Anda. Mungkin tidak ada efek jeranya, mungkin,” kata Tumpak.
“Tapi, malu juga loh kalau sudah diumumkan,” imbuhnya.
Baca juga: Astaga, 12 Pegawai KPK Sudah 5 Tahun Terima Pungli di Rutan, Totalnya Capai Rp425 juta
Tumpak lantas menekankan, Dewas KPK pernah menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian ketika status pegawai KPK belum menjadi ASN.
Saat ini, dewas hanya bisa menjatuhkan sanksi etik berupa permintaan mengundurkan diri kepada ketua dan wakil ketua KPK.
“Tapi, apa mau dikata sekarang? Memang itulah (aturannya), kecuali pimpinan KPK. Kalau pimpinan KPK itu bukan ASN, ya jelas ya,” kata Tumpak.
Untuk diketahui, 90 pegawai KPK dinyatakan terbukti terlibat praktik pungli di lingkungan rutan KPK.
Sebanyak 78 orang di antaranya dijatuhkan sanksi berat berupa permintaan maaf secara terbuka langsung.
Sementara 12 sisanya diserahkan kepada Sekretariat Jenderal KPK. Hal itu lantaran mereka melakukan perbuatan sebelum adanya Dewas KPK.
90 pegawai yang disidang etik pada Kamis (15/2/2024) kemarin diketahui memungut pungli dari tahanan KPK setiap bulannya selama 2018-2023.
Pungli yang ditarik itu guna meloloskan para tahanan membawa berbagai barang-barang yang dilarang di rutan, di antaranya handphone.
Mereka disebut mematok biaya bagi para tahanan untuk memasukkan barang-barang "haram" ke dalam rutan sekitar Rp10 juta hingga Rp20 juta. Bahkan, ada yang mematok kisaran Rp20 juta hingga Rp25 juta.
Sementara itu, ada juga yang mematok biaya bulanan untuk penggunaan handphone di dalam rutan yakni Rp5 juta per bulan.
Baca juga: Pungli di Rutan KPK Sangat Terstruktur: 191 Orang Diperiksa, Ada Lurah dan Pengepul
Total nominal uang bulanan yang bisa mencapai Rp70 juta itu lalu dikumpulkan melalui korting, atau tahanan yang "dituakan".
Kemudian, uang itu diserahkan ke sosok "lurah", atau pihak yang mempunyai tugas untuk mengambil uang bulanan dari korting.
Setiap bulannya, para terperiksa disebut menerima uang sekitar Rp3 juta per bulannya dari periode 2018-2023.
Bahkan, sosok Plt. Kepala Rutan atau Karutan dan Koordinator Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Rutan ada yang menerima uang per bulan masing-masing Rp10 juta dan Rp6 juta per bulan selama periode 5 tahun tersebut.