Konflik Agraria di Indonesia Tertinggi dari Enam Negara Asia
Konflik agraria di Indonesia tahun 2023 telah menyebabkan 241 letusan konflik, yang merampas seluas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat
Editor: Dodi Esvandi
Korban terdampak dalam konflik adalah kelompok petani, masyarakat adat dan masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan.
Dari sisi pemangku kepentingan yang paling banyak menjadi penyebab letusan konflik agraria adalah korporasi (36%), pemerintah (29%) atau individu penguasa yang kuat (15%).
Program pemerintah/program pembangunan menjadi penyebab letusan konflik agraria tertinggi kedua, diantaranya infrastruktur umum, termasuk jalan, jembatan, bandara atau pelabuhan.
Baca juga: 115 Konflik Agraria Ditangani Selama 2023, LBH Jakarta Singgung Penggusuran Warga Kampung Bulak
“Dari total 178 letusan konflik akibat program pemerintah, 90 persen disumbang oleh Indonesia, termasuk letusan akibat Ibu Kota Nusantara (IKN) yang juga menyumbang luasan terbanyak,” sebut Marianne.
Dari kategori perusahaan yang terlibat dalam konflik tanah, yang tertinggi adalah kategori agribisnis dan perkebunan, pertambangan dan properti.
“Walaupun perusahaan industri kayu hanya 5%, tapi dari sisi luasan menempati hampir separuh (48%) dari area konflik,” kata Marianne.
Tingginya konflik agraria Indonesia di enam negara tersebut juga linier dengan tingginya aduan masyarakat tentang konflik pertanahan yang masuk ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terima sepanjang tahun lalu.
Menurut Atnike Sigiro, Ketua Komnas HAM, meningkatnya tren konflik agraria ini telah menjadi perhatian khusus.
“Isu agraria menjadi masalah yang paling banyak masyarakat konsultasikan di tahun 2023,” katanya.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengutip data Catatan Akhir Tahun KPA tahun 2023 yang menilik konflik agraria di era Jokowi lebih tinggi (2939 kasus) dibanding era SBY (1354 kasus).
Baca juga: LBH Jakarta Terima 726 Pengaduan Kasus Sepanjang 2023, Konflik Agraria Mendominasi
“Kita bisa lihat bahwa masyarakat sipil di berbagai negara menghadapi situasi yang sama, walau berbeda konteks. Pelaku utama dari konflik ini adalah pemerintah pusat dan aparat hukum seperti polisi, militer,” katanya.
Workshop regional ini memetakan konflik agraria terstruktur untuk melihat isu sosial di baliknya dan kaitannya dengan aturan hukum, regulasi dan prioritas pembangunan.
Metode yang digunakan adalah pendekatan kasus dari perspektif komunitas dan membedah informasi dasar konflik, hubungan para pemangku kepentingan, insiden peristiwa di lokasi dan respon dari masyarakat atas konflik tersebut.
“Dengan memonitor secara berkala hari ke hari, tahun ke tahun, kita mendorong perlunya reforma agraria secara menyeluruh dan pengakuan bagi hak-hak petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan di semua negara. Dengan berbagi informasi monitoring secara berkala, kami berharap agenda reforma agraria bisa menjadi aksi kolektif bagi masyarakat sipil bersama Komnas HAM, Ombudsman dan parlemen,” katanya.