HNW Sebut Pencatatan Pernikahan Semua Agama di KUA Bisa Timbulkan Masalah Sosial, Menag Buka Suara
Menag Yaqut Cholil Qoumas menanggapi kritik Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid tentang rencana pencatatan nikah seluruh agama terpusat di KUA
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Febri Prasetyo
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W. Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menanggapi kritik Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid atau HNW yang menyebut pencatatan nikah seluruh agama terpusat di Kantor Urusan Agama (KUA) berpotensi menimbulkan masalah sosial dan psikologis di kalangan nonmuslim.
Saat merespons hal itu, Menag Yaqut mempertanyakan apakah ada bukti konkret dari kritik tersebut.
“Ada bukti konkretnya nggak itu? Ada nggak? Gagasan yang kita berikan agar warga negara mendapatkan kemudahan terhadap pelayanan yang diberikan oleh negara,” kata Menag Yaqut kepada Tribunnews.com di Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2024).
Kemudian, dikatakan Menag Yaqut wacana KUA jadi tempat nikah semua agama agar semua warga negara, bisa mendapatkan perlakuan yang sama apapun latar belakangnya.
Tak hanya itu, menurutnya wacana itu juga bisa membantu Kementerian Dalam Negeri agar administrasi kependudukan terutama yang terkait dengan perkawinan, perceraian, talak, dan rujuk itu bisa lebih simpel dan mudah.
“Kita mendorong itu, jadi kalau pemerintah, negara ini punya data yang baik, data yang firm yang cepat update-nya. Maka pelayanan kepada publik juga semakin baik,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, HNW mengkritik rencana Menteri Agama yang ingin menjadikan pencatatan nikah seluruh agama terpusat di KUA.
HNW menjelaskan rencana tersebut tidak sesuai dengan filosofi sejarah KUA di Indonesia, aturan yang berlaku termasuk amanat UUD NRI 1945.
Menurutnya hal itu justru bisa menimbulkan masalah sosial dan psikologis di kalangan non Muslim, dan bisa menimbulkan inefisiensi prosedural.
"Pengaturan pembagian pencatatan nikah yang berlaku sejak Indonesia merdeka yakni muslim di KUA dan nonmuslim di pencatatan sipil selain mempertimbangkan toleransi juga sudah berjalan baik, tanpa masalah dan penolakan yang berarti," kata HNW dalam keterangannya Selasa (27/2/2024).
Baca juga: Menag Yaqut Berencana Tawarkan MoU dengan Kemendagri agar Pencatatan Nikah Semua Agama Bisa di KUA
"Maka usulan Menag itu jadi ahistoris dan bisa memicu disharmoni ketika pihak calon pengantin nonmuslim diharuskan pencatatan nikahnya di KUA yang identik dengan Islam," imbuhnya.
Anggota Komisi VIII DPR RI fraksi PKS ini menjelaskan asal-muasal KUA adalah institusionalisasi dari jabatan penghulu, yang jauh sebelum kemerdekaan Indonesia sudah bertugas mencatatkan pernikahan dan urusan keagamaan lainnya bagi warga muslim.
Adapun bagi nonmuslim, kata HNW, dicatatkan langsung kepada pemerintah melalui dinas pencatatan sipil, dalam rangka toleransi dan menghargai keragaman umat beragama, dan juga untuk memudahkan mereka baik secara psikologis maupun sosial.
Secara mendasar, hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUD NRI 1945 yang jelas mengamanatkan Negara untuk menjamin agar tiap penduduk dapat beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Dalam aplikasinya, pembagian kewenangan pencatatan nikah juga sudah ada jauh sejak lahirnya UU No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, dan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Apalagi Menag dan publik tentunya tau, bahwa KUA selain perpanjangan dari peradilan agama (Islam) juga merupakan institusi/kantor yang berada di bawah Ditjen Bimas Islam, yang memang tugasnya hanya mengurusi umat Islam saja," ucap HNW.
HNW menambahkan, berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016, Kantor Urusan Agama Kecamatan merupakan unit pelaksana Teknis pada Kementerian Agama, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Anehnya, lanjut HNW, usulan Menteri Agama agar KUA juga mengurusi pencatatan nikah semua agama, disampaikan juga pada Raker Ditjen Bimas Islam.
"Sangat disayangkan di Forum Raker dengan Bikas Islam yang seharusnya mengutamakan pembahasan peningkatan pelayanan untuk masyarakat Islam, justru digunakan untuk membahas yang bukan lingkup tugas dan tanggung jawab Bimbingan Masyarakat Islam,” katanya.
(Tribunnews)