Soroti Program Makan Siang Gratis, JPPI: Rawan Dikorupsi dan Berpotensi Bikin Biaya Sekolah Mahal
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menilai, program itu rawan dikorupsi dan membuat biaya sekolah makin mahal.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com,Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti program makan siang gratis yang sedang digencarkan pasangan Prabowo-Gibran.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menilai, program itu rawan dikorupsi dan membuat biaya sekolah makin mahal.
Karenanya, pemerintah perlu memikirkan ulang.
"Apakah harus dilaksanakan secepat ini? Pemerintah jangan hanya mengejar populisme, karena terikat dengan janji-janji kampanye, tetapi harus memikirkan dampaknya," kata Ubaid, Senin (4/2/2024).
Ia menilai, ada skala perioritas yang jauh lebih mendesak untuk segera diatasi.
"Tujuan program ini masih belum jelas. Jika untuk pencegahan stunting, jelas program ini tidak ada manfaatnya. Jika untuk program pencegahan stunting, maka peruntukannya adalah untuk ibu hamil dan anak hingga usia 2 tahun. Jika untuk pemenuhan gizi, apa artinya makan siang, jika anak-anak itu berangkat sekolah dengan perut kosong tidak sarapan, lalu malamnya makan mie atau seblak? Maka makan siang untuk pemenuhan gizi ini tidak ada artinya," jelad dia.
Kemudian, saat program tersebut dipaksakan, maka jelas akan jadi beban anggaran dan menambah utang negara.
Akibatnya, tarif biaya pendidikan kian mahal dan tak terjangkau.
"Banyak Masyarakat menjerit soal biaya pendidikan dan belum terlaksananya program wajib belajar 12 tahun secara bebas biaya. Di sekolah negari saja masih banyak pungli, apalagi di sekolah swasta maka biaya sekolah kian tak terjangkau," kata dia.
Lebih dari itu, biaya makan siang ini rawan dikorupsi dengan potensi melibatkan Kepsek dan guru potensial.
Hingga kini sektor pendidikan masih masuk kategori 5 sektor terkorup di Indonesia.
Karena itu, biaya makan siang yang jumlahnya sangat fantastis ini, bisa menjadi angin segar bagi para oknum di sektor pendidikan.
Terlebih tidak jelas punya siapa, siapa yang mengelola, siapa saja yang terlibat, bagaimana mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya.
Dana BOS saja hingga kini masih bermasalah.
"Jika dipaksakan harus ada makan siang, maka anggaran makan siang harus di luar anggaran pendidikan," ungkap dia.
Pihaknya berharap, dahulukan problem prioritas dari pada pelunasan janji kampanye demi populisme.
Berdasarkan data BPS 2023, rata-rata lama sekolah nasional di Indonesia masih 8,7 tahun.
Artinya SMP saja tidak lulus. Sementara dari segi kualitas, berdasarkan skor PISA 2022, kemampuan literasi-numerasi pelajar Indonesia masuk dalam kategori salah satu negara dengan skor terendah dan di bawah standar minimum rata-rata di dunia.
Artinya, SDM Indonesia sudah sangat ketinggalan dari negara-negara luar, bahkan tertinggal jauh dari negara-negara tetangga.
"Apakah ini bisa diselesaikan dengan makan siang? Jelas tidak," tegas Ubaid.