Prabowo Beli Kapal Perang Rp 20 Triliun Thaon di Revel, Netralisir Ancaman Kapal Selam hingga Drone
Thaon di Revel-class, sejatinya layak disebut sebagai kapal jenis Frigate jika merujuk pada tonase, panjang, hingga muatan senjata yang bisa dibawanya
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - TNI AL akan diperkuat kapal perang buatan Italia, Thaon di Revel-class OPV.
Kementerian Pertahanan Indonesia yang dipimpin Prabowo Subianto telah menandatangani kontrak pembelian dua unit kapal perang tersebut.
Dalam pernyataan yang dirilis produsen senjata Italia, Fincantieri, pihaknya dan Kemenhan RI telah meneken kesepakatan kontrak senilai 1,18 miliar euro, pada Kamis, 28 Maret 2024.
Nilai kontrak pembelian tersebut setara dengan Rp 20,2 triliun (kurs 17,130/euro)
"Fincantieri dan Kementerian Pertahanan Indonesia telah menandatangani kontrak senilai 1,18 miliar euro, dalam kerangka hubungan kolaboratif yang diprakarsai oleh Kementerian Pertahanan Italia, untuk penyediaan dua Unit PPA. Kapal ini memiliki standar teknologi yang luar biasa, didesain mampu menjalankan berbagai fungsi, mulai dari patroli dengan kapasitas penyelamatan laut hingga operasi Perlindungan Sipil dan kapal tempur lini pertama," demikian bunyi keterangan resmi Fincantieri.
Disebutkan juga, kontrak tersebut ditandatangani oleh Pierroberto Folgiero, Chief Eexecutive Officer (CEO) dan Managing Director Fincantieri serta Kementerian Pertahanan Indonesia, di hadapan Dario Deste, General Manager Divisi Kapal Angkatan Laut.
Dua kapal ini awalnya dibangun untuk AL Italia, namun belakangan dialihkan ke Indonesia demi kepentingan ekspor negara tersebut.
Adapun untuk Italia, kapal pesanan mereka akan tetap dibuat setelah Indonesia.
Indonesia dikabarkan sudah mengungkapkan ketertarikan mengakuisisi Thaon di Revel-class saat kapal singgah di Indonesia pada Juli 2023.
Meski berstatus Kapal patroli lepas pantai multiguna, Thaon di Revel-class, sejatinya layak disebut sebagai kapal jenis Frigate jika merujuk pada tonase, panjang, hingga muatan senjata yang bisa dibawanya.
Kapal ini melakukan berbagai fungsi, mulai dari patroli dengan kapasitas penyelamatan laut hingga operasi Perlindungan Sipil dan hingga dilengkapi dengan kemampuan pertahanan lengkap.
Nantinya, Thaon di Revel Class akan dipersenjatai dengan meriam raksasa 127/64 buatan Leonardo, Italia.
Senjata ini membuat Indonesia menjadi pengguna meriam terbesar di kapal perang di kawasan Asia Tenggara.
Sistem senjata di Thaon di Revel Class membuat kapal perang ini dapat mengeksekusi berbagai macam sasaran.
Thaon di Revel Class mampu menyerang kapal perang musuh, bombardir area pesisir, bahkan eksekusi target seperti kapal selam, helikopter, drone, hingga rudal.
Thaon di Revel class juga dibekali rudal pertahanan udara CAMM-ER 2 x 8-cell dengan peluncur DCNS SYLVER A70 VLS, rudal anti kapal Teseo hingga torpedo Black Arrow 324 mm.
Kapal ini juga mempunyai panjang keseluruhan 143 meter, menjadikannya sebagai kapal terpanjang di jajaran TNI AL.
Bahkan, Thaon di Revel Class jauh lebih panjang dari kapal perang kebanggaan Singapura, Formidable Class yang hanya 115 meter dan Gepard Class milik Vietnam yang cuma 102 meter.
Thaon di Revel Class mampu melaju dengan kecepatan lebih dari 32 knot sesuai dengan konfigurasi kapal dan kondisi operasional dan diawaki sekira 170 orang.
Beda nasib Malaysia
Berbeda dengan Indonesia yang terus meningkatkan ototnya AL-nya, Tentara Diraja Malaysia justru dihadapkan pada ketidakjelasan proyek kapal perang mereka.
Jika Indonesia nampak lancar jaya, pembangunan proyek kapal perang Malaysia, Maharaja Lela class justru mangkrak, setelah awalnya mereka berencana membangun enam unit.
Sebagai informasi, pembangunan kapal perang Maharaja Lela sudah dimulai sejak 2017 tapi satu pun tak ada yang jadi sampai detik ini.
Belakangan beredar kabar tak sedap yang menyebut galangan kapal Boustead yang menangani program ini mengubah desain Maharaja Lela class tanpa berdiskusi dulu dengan Naval Group Prancis.
Maharaja Lela class menggunakan desain Gowind class buatan Naval Group Prancis.
Pihak Naval Group angkat tangan untuk tak ikut campur lagi dalam program ini lantaran desain kapal sudah diubah sendiri oleh Malaysia tanpa konsultasi dengannya.
Produsen maritim internasional itu tak ingin mengambil risiko nama mereka tercoreng ketika kelak Maharaja Lela bermasalah di kemudian hari.