Cawe-cawe Politik Lewat Revisi UU MK Dinilai Bisa Runtuhkan Independensi Mahkamah Konstitusi
Apabila dilihat dari level hukum, kata dia, maka MK didesain untuk melindungi dan menegakkan norma-norma konstitusi.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Acos Abdul Qodir
Kutipan tersebut, kata dia, bermakna politisasi pengadilan berbahaya karena membuat masyarakat menjadi rentan terhadap perebutan kekuasaan oleh cabang-cabang politik.
"Dan jika pengadilan kehilangan otoritas untuk memeriksa kekuasaan politik dan membuat putusan yang tidak populer maka ia tidak dapat menegakkan konstitusi dengan efektifitas yang sama," sambung dia.
Untuk itu, ia meminta pembentuk undang-undang untuk menghentikan upaya politisasi terhadap MK agar independensi MK dapat kembali seperti semula.
Namun perkembangan independensi pengadilan, kata dia, merupakan fenomena multi-dimensi yang tergantung pada sejumlah kondisi.
Kondisi-kondisi tersebut antara lain tipe rezim yang berkuasa, level kompetisi politik dapam rezim yang berkuasa, dan potensi kepercaan antar kelompok masyarakat secara keseluruhan.
"Sebagai penutup, saya akan mengatakan hentikan politisasi untuk memgembalikan independensi MK," kata dia.
Fenomena Hakim Konstitusi Aswanto
Diberitkan sebelumnya, mantan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) ad hoc, Jimly Asshiddiqie pernah menyinggung soal pencopotan hakim Aswanto oleh DPR RI dan menggantikannya dengan Guntur Hamzah.
Ia awalnya mengatakan, MK dibentuk untuk memastikan terselenggaranya kedaulatan rakyat.
Jimly menjelaskan MK berisikan 9 hakim, dengan komposisi hakim 3 orang diajukan pemerintah, 3 diajukan DPR RI, dan 3 diajukan Mahkamah Agung (MA).
DPR, pemerintah, dan MA, kata dia, hanya bertugas untuk menyeleksi orang untuk diajukan menjadi hakim MK.
Sehingga, kata dia, hakim konstitusi bukan berasal atau dari lembaga tersebut, melainkan diajukan setelah melalui proses seleksi.
Meski demikian, kata dia, hal tersebut justru disalahartikan oleh DPR.
Sehingga, lanjut dia, DPR menganggap berhak mencopot hakim konstitusi Aswanto dan menggantinya dengan M Guntur Hamzah.
Hal itu disampaikan Jimly, dalam sidang pemeriksaan laporan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (3/11/2023).