5 Kritikan soal Polemik Biaya UKT: Potensi Ancam Visi Indonesia Emas 2045, Mahasiswa Menjerit
Kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia menuai kritikan dari sejumlah kalangan.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia menuai kritikan dari sejumlah kalangan.
Hal itu diketahui juga buntut dari terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) tahun 2024.
Regulasi tersebut dinilai mengakibatkan jumlah Biaya Kuliah Tunggal (BKT), UKT, dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) naik fantastis sehingga membebani mahasiswa.
Kebijakan ini dinilai membuat wajah perguruan tinggi di Indonesia menjadi komersil.
Mahasiswa merasa kampus tak adil karena ada mahasiswa dari keluarga tak mampu, tapi UKT-nya besar dan ada yang sebaliknya.
Sementara itu, Kemendikbudristek menyatakan, biaya UKT tetap mempertimbangkan seluruh kelompok masyarakat dan tetap mengikuti panduan yang berlaku.
Selengkapnya, berikut sejumlah kritikan terkait naiknya biaya UKT di PTN yang dirangkum Tribunnews.com:
1. Menko PMK Muhadjir Effendy: Langkah Sembrono
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta PTN bijak dalam memutuskan kenaikan UKT.
Menurut Muhadjir, sejak awal sudah harus ada perjanjian dengan pihak mahasiswa dan orang tua terkait biaya perkuliahan.
"Ya menurut saya dari pihak kampus dalam kaitan dengan UKT ini harus betul-betul bijak, bijaksana."
Baca juga: 4 Aksi Protes Mahasiswa soal UKT di USU, Unri, Unsoed, dan UNS
"Misalnya kalau memang ada kenaikan UKT, itu sejak awal harus sudah ada kontrak, perjanjian dengan mahasiswa dan orang tuanya bahwa nanti akan ada kenaikan," ujar Muhadjir di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Muhadjir mengatakan, kenaikan UKT tidak boleh dilakukan di tengah perkuliahan mahasiswa.
Dirinya menilai kenaikan di tengah perkuliahan, adalah langkah sembrono.
"Bahkan kalau perlu nilai kenaikannya juga harus ditetapkan, jangan tiba-tiba di tengah jalan menaikan UKT, itu saya kira langkah yang sembrono."
"Itu artinya berarti kampus itu tidak punya perencanaan yang bagus dalam kaitannya dengan manajemen keuangan," tutur Muhadjir.
Kenaikan biaya UKT tiap tahun, menurut Muhadjir, tidak bermasalah, selama ditetapkan berdasarkan kesepakatan di awal.
Muhadjir juga mengatakan, sebaiknya penaikan UKT itu tidak dikenakan kepada mahasiswa yang sudah menjalani perkuliahan.
2. Gen KAMI: Berpotensi Ancam Visi Indonesia Emas 2045
Ketua Umum Gen KAMI (Gerakan Komunitas Aktivis Milenial Indonesia), Ilham Latupono, mengecam kebijakan kenaikan UKT.
Menurutnya, kenaikan biaya kuliah adalah bentuk pengkhianatan terhadap visi Indonesia Emas 2045.
"Kenaikan UKT ini bentuk pengkhianatan pimpinan kampus terhadap Visi Nasional Indonesia Emas 2045."
"Alih-alih menyediakan pendidikan murah, para rektor justru menaikkan uang kuliah,” kata Ilham dalam keterangannya, Rabu (15/5/2024).
Ia khawatir apabila kenaikan biaya kuliah di kampus negeri ini akan memengaruhi pembentukan generasi emas yang nantinya akan memimpin Indonesia.
"Mahasiswa hari ini, akan menjadi pimpinan bangsa dan negara ini di tahun 2045. Bayangkan jika mereka putus kuliah, karena kenaikan UKT yang tidak kira-kira ini," ujarnya.
Atas dasar itu, ia mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mesti turun tangan.
Jokowi perlu memerintahkan Mendikbudristek, Nadiem Makarim, untuk segera membatalkan kenaikan UKT serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap operasional PTN.
Ilham pun mengaku curiga, kenaikan UKT yang melonjak dan mendadak merupakan upaya sabotase kelompok tertentu terhadap kebijakan Jokowi.
Pasalnya, kenaikan biaya kuliah justru terjadi di saat kondisi politik bangsa ini belum stabil setelah Pemilu 2024.
Apalagi ditambah saat ini merupakan masa transisi kepemimpinan dari Jokowi ke Prabowo Subianto yang telah ditetapkan sebagai presiden terpilih.
Di sisi lain, Ilham meyakini Jokowi masih memiliki komitmen yang tinggi terhadap visi Indonesia Emas 2045.
3. Anggota DPR: Jangan Mendadak
Anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus, menilai bahwa kenaikan UKT seharusnya dilakukan secara bertahap dan tidak mendadak.
"Semestinya, kenaikan UKT dilakukan secara bertahap, jangan dilakukan secara mendadak," kata Guspardi, Jumat (10/5/2024).
"Apalagi kondisi penghasilan rata-rata masyarakat Indonesia saat ini belum begitu bagus, peningkatan UKT yang tinggi sungguh tidak logis dan tidak relevan," lanjutnya.
Menurutnya, saat ini banyak mahasiswa maupun orang tua yang merasakan beratnya biaya kuliah di PTN.
"Situasi ini harus menjadi perhatian dari pemerintah dan muncul langkah-langkah terobosan untuk mengatasinya," ucapnya.
Ia menilai, biaya kuliah yang tinggi mengakibatkan PTN sulit diakses oleh golongan tidak mampu meski diantara mereka mendapat keringan.
Namun, menurutnya, dari pengalaman sejumlah mahasiswa, upaya itu sering memakan waktu lama dan belum tentu pula berhasil.
"Sejatinya konsep PTN- BH bagaimana pihak perguruan tinggi harus pandai mencari pendanaan di luar dari student body dan di luar subsidi pemerintah, karena tidak lagi sepenuhnya bergantung pada APBN."
"Jangan malah mengandalkan jumlah penerimaan dari mahasiswa. Itu bukan intisari dari peningkatan perguruan tinggi berbadan hukum dan jelas PTN-BH ini belum berjalan dengan sempurna," ujarnya.
Oleh sebab itu, Guspardi menyebut perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap otonomi dan mekanisme pendanaan PTN.
4. Pengamat: Terjebak Komersialisasi Pendidikan
Pengamat pendidikan Satria Dharma mengatakan, jika biaya UKT semakin mahal hanya membuktikan bahwa pemerintah telah terjebak dalam komersialisasi pendidikan.
Pemerintah dalam hal ini adalah Kemendikbud dan para manajemen kampus PTN.
"Kalau biaya kuliah semakin mahal itu hanya membuktikan bahwa pemerintah, dan dalam hal ini adalah Kemendikbud dan para manajemen kampus PTN, telah terjebak dalam komersialisasi pendidikan dan malas berpikir untuk kemajuan bangsa,” katanya, dikutip dari Kompas.com, Jumat (17/5/2024).
Meski demikian, ia menyadari bahwa pendidikan tinggi bukan termasuk program wajib belajar yang harus digratiskan.
Namun, bukan berarti pendidikan tinggi tidak bisa digratiskan.
Menurutnya, bukan hal sulit apabila pendidikan tinggi bisa didapatkan secara gratis jika pemerintah mau berpikir dan bekerja lebih keras daripada sekarang.
Hal itu ia bandingkan ketika pendidikan dasar di Indonesia belum digratiskan, pemerintah menganggapnya tidak mungkin bisa tercapai.
"Tapi ternyata toh kita bisa melakukannya sekarang. Begitu juga dengan kuliah gratis, kita pasti bisa kalau mau berpikir lebih serius," jelas Satria.
Dia mencontohkan dari Jerman yang sampai saat ini bisa menggratiskan biaya kuliah bahkan untuk warga negara asing di negaranya.
Sehingga, menurutnya itu hanya masalah political will atau komitmen para stakeholder dalam mengambil kebijakan.
5. Mahasiswa
Kritikan disampaikan kalangan mahasiswa dari sejumlah daerah.
Keluhan salah satunya dilakukan mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang melakukan aksi memprotes UKT mahal ke rektorat.
Selain Unsoed, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo juga menuntut rektorat mengahapus UKT golongan 9.
Presiden BEM UNS Solo, Agung Lucky Pradita mengatakan, UKT Golongan 9 terlalu memberatkan mahasiswa.
Sebelumnya, UKT di UNS hanya sampai Golongan 8.
Kenaikan UKT baru terjadi tahun ini. Menurutnya, selama beberapa tahun, UKT di UNS tidak mengalami kenaikan.
Keluhan yang sama soal UKT mahal juga dilontarkan mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Universitas Riau (Unri).
(Tribunnews.com/Milani Resti/Chaerul/Fahdi) (Kompas.com/Aditya Priyatna)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.