Benarkah Terjadi Miscarriage of Justice dalam Kasus Vina? Psikolog Forensik Beberkan 2 Kejanggalan
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel tidak menampik bahwa kesan miscarriage of justice dalam kasus pembunuhan Vina itu ada.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan pembunuhan pasangan asal Cirebon, Vina (16) dan Muhammad Rizki Rudiana alias Eki (16) masih menjadi perbincangan publik.
Terlebih baru-baru ini tim kuasa hukum delapan tersangka buka suara dan membeberkan sejumlah kejanggalan.
Baca juga: Polisi Didesak untuk Tangkap 3 DPO Kasus Vina Cirebon, Kriminolog: Jangan Ada yang Dikorbankan
Mereka menilai banyak kejanggalan terutama tuntutan terhadap terdakwa dengan fakta dalam persidangan.
Benarkah telah terjadi miscarriage of justice dalam kasus kematian Vina?
Miscarriage of justice adalah suatu kondisi hukum di mana seseorang yang tidak bersalah diproses atau bahkan dihukum pidana padahal ia tidak bersalah atau tidak ada tindak pidana yang dilakukan namun proses penegakan hukum telah mengarahkan pada dirinya sebagai pelaku kejahatan.
Baca juga: Kesaksian Warga saat Melihat Proses Penangkapan Pelaku Pembunuhan Vina Cirebon
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel tidak menampik bahwa kesan miscarriage of justice dalam kasus pembunuhan Vina itu ada. Dirinya pun menyarankan agar kasus tersebut kembali ke titik nol, dimana ia pun mempertanyakan benarkah ada pembunuhan? dan benarkah terjadi perkosaan?.
"Kesan miscarriage of justice itu ada. Bukan hanya police misconduct, tapi miscarriage of justice. Artinya, seluruh lembaga peradilan pidana perlu buka kembali berkas kerja mereka pada kasus ini," kata Reza dikutip dalam sebuah podcast, Senin (20/5/2024).
Reza menuturkan terkait adanya 3 daftar pencarian orang (DPO) dalam kasus Vina merupakan isu sekunder. Yang paling penting menurutnya jika fokus pada isu 3 DPO tersebut tidak akan membuat diinvestigasinya indikasi miscarriage of justice.
"Isu primernya adalah dua pertanyaan saya di atas tadi. Konsekuensinya, eksaminasi berkas kembali. Dan itu tidak tergantung pada tertangkap tidaknya, bahkan ada tidaknya, tiga atau empat DPO," tegasnya.
Film Vina kata Reza sudah memantik emosi publik. Dirinya pun terluka ketika membayangkan ada orang diperkosa dan dibunuh. Tapi saat ia berbincang dengan sutradara dan produser, asal-muasal narasi perkosaan itu datang dari sumber yang irasional.
"Tambah lagi proses hukumnya pun sama sekali tidak mengangkat perkosaan sebagai perkara pidana. Dari Dirkrimum Polda Jabar saat ini, saya simak dia katakan, "Sperma"," ujarnya.
Baca juga: Pengacara Korban Sebut Seharusnya Ada 4 DPO Kasus Pembunuhan Vina, 1 Pelaku Diduga Dihilangkan
"Sperma memang urusan kedokteran. Tapi latar psikis datangnya sperma itu adalah relevan dengan psifor. Kalau sperma itu akibat aktivitas seksual yang forceful, barulah bisa disebut sebagai bukti perkosaan. Tapi kalau aktivitas seksualnya bersifat konsensual, maka no criminal case," tambahnya.
Masih kata Reza, ia menduga persepsi publik dikunci sejak awal oleh narasi yang dibangun lewat film Vina. Bahwa ini pembunuhan dan ini perkosaan.
Bahwa atensi publik dikondisikan pada pencarian 3-4 DPO dan bahwa publik awalnya tidak mencermati proses penegakan hukum atas pembunuhan dan perkosaannya.
Setelah berkas hukum mulai diketahui publik, dan setelah pejabat Polda bicara, barulah atensi masyarakat sekarang tertuju ke benar tidaknya pembunuhan dan perkosaan itu.
"Kalau memang kedua korban dibunuh dan diperkosa, saya setuju pelakunya dihukum mati. Tapi proses penegakan hukumnya terkesan kurang prosedural, proporsional, dan profesional. Karena itu, review," ujarnya.
"Kalau hasil review menyimpulkan telah terjadi miscarriage of justice, bebaskan dan rehabilitasi terpidana. Juga, berikan ganti rugi kepada mereka," tegasnya.