Revisi UU MK Sarat Kepentingan Politik, Jimly Asshiddiqie Desak Ditunda Hingga DPR Periode Mendatang
Jimly mengatakan, lebih baik revisi UU MK dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas DPR RI tahun 2025. Pasalnya, telah beredar isu, revisi UU MK telah
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini menjadi anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie, mengkritik DPR dan pemerintahan Jokowi yang sepakat merevisi Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Jimly menyarankan, seharusnya pembahasan revisi RUU MK dilaksanakan oleh para anggota DPR RI periode 2024-2029 mendatang.
Sebab, publik merasakan adanya kejanggalan di balik revisi UU MK.
Hal ini lantaran pembahasan RUU tersebut dilakukan pada masa reses, yakni pada Senin (13/5/2024) lalu.
"Ya saya rasa ini kan karena agenda yang lama, salahnya kan mengapa ditunda mestinya ditolak saja karena tidak keperluan sebetulnya.
Apalagi kan sekarang pilpres sudah selesai dan diketahui siapa pemenangnya. Sebaiknya yang seperti ini diserahkan saja pada anggota DPR periode mendatang," kata Jimly di Gedung DPR/MPR/DPD RI, Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/5/2024).
Baca juga: Legislator PDIP Bicara Wacana Revisi UU TNI, Buka Peluang Ubah Usia Pensiun?
Jimly mengatakan, lebih baik revisi UU MK dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas DPR RI tahun 2025.
Pasalnya, telah beredar isu, revisi UU MK telah dipolitisasi.
"Seharusnya RUU MK itu masukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2025 kan bisa, tidak usah sekarang untuk apa?
Apalagi itu kan bisa dipersepsi macam-macam seakan-akan mau mengerjai salah satu atau dua orang hakim MK untuk diberhentikan. Nah, hal itu kan jadi politis," ujar anggota DPD RI dari Dapil DKI Jakarta ini.
Lebih lanjit, Jimly mengaku khawatir kerja-kerja MK yang maraton sebagai pengadil terakhir persengketaan pemilu maupun pilkada akan terganggu dengan adanya pembahasan revisi RUU MK ini.
"Jadi, tidak ada keperluannya, apalagi MK kan sudah menjalankan tugasnya sebagai pengadil terakhir hasil Pemilu 2024 di mana pada 20 Juni mendatang baru selesai, nanti dilanjutkan lagi dengan Pilkada serentak 2024.
Jadi, kerja maraton mereka itu jangan diganggu dengan isu-isu politik teknis yang medioker, tidak penting itu," ucap Jimly.
Baca juga: Sindiran Pengamat kepada Jokowi: Beliau Presiden Tersukses Membangun Dinasti Politik Pascareformasi
Kendati demikian, kata Jimly, revisi UU MK tetap diperlukan. Satu diantaranya yakni mengubah aturan periodisasi hakim konstitusi.
"Bukan berarti revisi RUU MK ini tidak perlu ya, kan ada perubahan paradigma pada rekruitmen sistem hakim konstitusi yang dulunya periodisasi 5 tahunan sekarang ini diubah menjadi usia, yakni 55-70 tahun, tetapi dibatasi hanya 10 tahun.
Nah, prinsip ini bagus supaya rekruitmen hakim konstitusi itu tidak terganggu oleh dinamika politik 5 tahunan sehingga baik untuk independensi," pungkas Jimly.
Pemerintah dan DPR Sepakat Bawa Ke Paripurna
Diberitakan juga sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan TNI (Purn) Hadi Tjahjanto mengatakan pemerintah menerima hasil pembahasan Rancangan Undang-Undangan tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) di tingkat Panitia Kerja (Panja).
Atas nama Pemerintah, ia mengatakan sepakat untuk meneruskan hasil pembahasan RUU itu ke sidang Paripurna DPR RI.
Hal tersebut disampaikannya saat menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi III DPR Pembahasan Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi di Gedung DPR RI, Jakarta pada Senin (13/5/2024).
"Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan pembicaraan dan pengambilan keputusan tingkat II terhadap RUU Mahkamah Konstitusi di Sidang Paripurna DPR-RI," kata Hadi dalam keterangan resmi Humas KemenkonPolhukam RI pada Senin (13/5/2024).
Ia menyatakan berbagai poin penting dari perubahan atas UU MK yang telah dibahas bersama-sama akan semakin memperkokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, kata dia, hal itu juga akan semakin meneguhkan peran dan fungsi MK sebagai penjaga konstitusi negara (guardian of the constitution).
"Pemerintah berharap kerja sama yang telah terjalin dengan baik antara DPR RI dan Pemerintah, dapat terus berlangsung, untuk terus mengawal tegaknya negara kesatuan yang kita cintai bersama," kata dia.
Baca juga: Bobby Nasution Jadi Kader Gerindra, Masinton PDIP: Semoga Betah Tak Pindah Lagi di Pemilu 2029
Rapat kerja tersebut dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) Adies Kadir dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman.
Dilansir dari laman resmi DPR RI, Komisi III DPR RI dan pemerintah sepakat RUU MK dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II dalam rapat Paripurna DPR RI.
Adies disebut sebelumnya telah meminta persetujuan dari para Anggota Komisi III dan Menteri Polhukam saat raker di Nusantara II, Senayan, Jakarta pada Senin (13/5/2024).
"Kami meminta persetujuan kepada Anggota Komisi III dan Pemerintah, apakah pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna," kata Adies.
Baca juga: Wacana Kementerian Era Prabowo Bertambah Jadi 40, Romo Magnis ungkit Pemerintahan Xi Jinping
Dilaporkan, Adies telah menyampaikan bahwa pada 29 November 2023 lalu Panja Komisi III DPR RI dan Pemerintah telah menyetujui DIM RUU MK dalam rapat.
DPR dan pemerintah, kata dia, saat itu memutuskan bahwa pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat langsung dilanjutkan pada Pengambilan Keputusan Pembicaraan Tingkat I atau Rapat Kerja di Komisi III.
Saat itu, panja disebut telah melaporkan hasil pembahasannya.
Selain itu, fraksi-fraksi melalui perwakilannya juga disebut telah menyampaikan pendapat akhir mini fraksi, serta menandatangani naskah RUU MK saat itu.
Akan tetapi, pihak Pemerintah disebut belum memberikan pendapat akhir mini dan belum menandatangani naskah RUU tentang Mahkamah Konstitusi.